Zohri Sebentar Lagi

Tinggal tehnik larinya. Dan latihannya. Dan gizinya. Dan mental juaranya. Itulah sebabnya Pemda NTB memberikan tempat tinggal. Di asrama atlet di Mataram. Agar bisa terus latihan lari yang benar. Zohri sudah jarang pulang ke desanya. Yang miskin itu. Ibu-bapaknya sudah meninggal. Di rumah tidak ada orang lagi. Dua kakaknya sudah berkeluarga. Sudah punya rumah masing-masing.

Kedua kakaknya itu juga sudah bekerja: di Pulau Gili Trawangan. Di daerah wisata terkenal itu. Di seberang pantai Senggigi. Dari hasil kerjanya itu kedua kakak Zohri punya kehidupan lebih baik. Bisa membangun rumah masing-masing. Persis di sebelah rumah orang tua mereka.

Bacaan Lainnya

Tinggal Zohri yang mewarisi rumah itu: sebuah rumah yang dindingnya anyaman bambu. Bolong-bolong. Nyaris reot. Di rumah itulah Zohri lahir, tumbuh dan menjadi remaja. Danrem Lombok sudah meninjau rumah itu. Sudah akan merehabnya. Dan, kalau Zohri setuju, boleh masuk TNI. Tanpa tes. Serta tetap bisa terus jadi atlet lari.

Suharli, wartawan olahraga Lombok Pos yang saya minta mewawancarai beberapa pihak di NTB sudah dua kali ke rumah Zohri. Arahnya: kita ke Senggigi dulu. Terus ke utara. Sekitar 40 menit. Dengan sepeda motor. Ketemulah desa Pemenang. Di desa itulah Zohri sekolah. Ternyata selama di SD belum kelihatan bakat lari Zohri. Ia tidak suka atletik.

Tamat SD Zohri masuk SMP. Di desa yang sama. Sampai kelas dua pun belum tampak: minatnya pada atletik. Baru di kelas 3, Bu Rosida, guru olahraga di SMPN 1 Pemenang ‘menemukannya’. Alumni IKIP Mataram ini kadang sabar. Kadang juga keras. Dalam menghadapi Zohri.

Awalnya, kata Bu Rosida, Zohri itu menjengkelkan. Ia tidak mau ikut pelajaran olahraga: karena pakai aturan-aturan. Sesuai dengan proses di kurikulum olahraga. Maunya Zohri: langsung saja ke olahraganya. Dan itu berarti sepak bola. Ia memang seperti Suryo. Suka sekali sepak bola.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *