Bencana dan Penjarahan Mental Manusia Kolot

Oleh: Handi Sukabumi
Redaktur Di Radar Sukabumi

BENCANA yang terjadi di Sulawesi Tengah tepatnya di Kota Palu dan sekitarnya mengisahkan duka bagi negara ini, betapa tidak hingga kini korban sudah mencapai 1.407 orang meninggal akibat bencana yang terjadi pada Jumat (28/9). Namun, ada yang menarik setiap yang terjadi bencana di negara ini. Selalu ada saja cerita tentang penjarahan dikala bencana datang.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan berita yang dirilis media nasional, saat ini setidaknya ada 45 orang tersangka yang ditahan akibat melakukan penjarahan di lokasi gempa. Saya, menjadi heran terhadap mereka yang melakukan penjarahan, apakah akibat desakan kebutuhan atau mungkin naluri kriminal akut dikepalanya. Bahkan, sebetulnya cerita penjarahan bukan hal yang baru di Indonesia disaat situasi bencana datang, contohnya pada saat bencana di Yogjakarta pada 2010 lalu puluhan masyarakat yang sudah tekena musibah harus menerima musibah kedua karena barang yang tersisa dicuri.

Bahkan, beredar cerita soal bencana di Lombokpun tidak lepas dari kata penjarahan, ya meski tidak seheboh berita yang terjadi di Palu saat ini. Saya pernah membaca buku Jepang kuno, yang menjelaskan pola pikir timbal balik: “Kebaikan Anda akan dihargai pada akhirnya. Amal adalah investasi yang bagus”. Harusnya prilaku ini yang ditanamkan kepada masyarakat, jika dalam pemikiran masyarakat bahwa menjarah adalah hal yang buruk maka tidak ada yang namanya kasus penjarahan ditempat bencana.

Marilah, belajar ketika negara Jepang yang diguncang gempa dan Tsunami dengan kekuatan 9,0 SR dan adanya radiasi dari pembangkit listrik tenaga nuklir, mereka tetap tenang dan hidupnya sangat teratur. Bahkan kata seorang kolumnis untuk the The Philippine Star mengatakan bahwa meski dalam bencana masyarakat Jepang Sangat Disiplin.

Budaya jepang yang begitu jujur, disiplin dan membentuk masyarakat yang koleftif dengan menghargai kelompok atas individu! Tentu saja mereka tidak akan mencuri apa pun setelah bencana alam paling merusak sepanjang hidup mereka tidak seperti pencuri yang tidak disiplin di pasca- Katrina New Orleans dan Haiti pasca gempa. Bahkan jika mereka putus asa untuk makanan, orang Jepang akan tetap mengantre untuk belanjaan.

Seorang profesor di Sekolah Hukum Universitas Michigan Mark D. West, sebetulnya ada budaya lingkaran untuk budaya ini. Mengapa warga jepang tidak melakukan pejarahan saat bencana? karena mereka berfikir penjarahan bukan budaya mereka. Bagaimana budaya itu didefinisikan? Tidak ada penjarahan.
“Penjelasan yang lebih baik mungkin merupakan faktor struktural: sistem hukum yang kuat yang memperkuat kejujuran, kehadiran polisi yang kuat, dan, ironisnya, organisasi kejahatan yang aktif.

Dunia tahu mungkin, Orang Jepang mungkin lebih jujur ??daripada kebanyakan orang. Tetapi struktur hukum Jepang lebih menghargai kejujuran daripada kebanyakan orang. Misalnya, jika Anda menemukan payung dan menyerahkannya ke polisi, Anda mendapatkan biaya finder 5 hingga 20 persen dari nilainya jika pemilik mengambilnya.

Jika mereka tidak mengambilnya dalam waktu enam bulan, pencari akan tetap menjaga payung. Orang Jepang belajar tentang sistem ini sejak usia muda, dan perjalanan pertama seorang anak ke kantor polisi terdekat setelah menemukan koin kecil, katakanlah, adalah ritus peralihan yang baik dilakukan oleh anak-anak dan polisi.

Pada saat yang sama, polisi menegakkan kejahatan kecil seperti pencurian kecil, yang memberi kontribusi pada keseluruhan rasa keamanan dan ketertiban, sepanjang garis kebijakan “jendela rusak” yang diterapkan di New York City pada 1990-an. Kegagalan mengembalikan dompet yang ditemukan dapat mengakibatkan jam interogasi paling baik, dan hingga 10 tahun penjara dalam kondisi terburuk.

Padahal, Jepang memiliki kekuatan polisi yang aktif dan terlihat dari hampir 300.000 petugas di seluruh negeri. Polisi berjalan mengikuti irama mereka dan mengobrol dengan penduduk setempat dan penjaga toko. Polisi ditempatkan di koban yang ada di mana-mana , kotak-kotak polisi diawaki oleh satu atau dua petugas, dan di kota-kota hampir selalu ada seorang koban yang dapat berjalan kaki dari koban lain.

Saat itu, Polisi ataupun aparat lainnya bukan satu-satunya yang berpatroli sejak gempa bumi melanda. bahkan Anggota Yakuza sekalipun ikut turun, organisasi yang terkenal kejam ini turun menegakkan ketertiban di lokasi bencana. Bahkan mereka, telah menyusun pasukan atau anggotanya untuk berpatroli di jalan-jalan di wilayah mereka dan mengawasi keluar untuk memastikan penjarahan dan perampokan tidak terjadi,

Bahkan berdasarkan cerita tulisan dari beberapa media Jepang, Yakuza yang selama ini organisasi yang begerak dibidang pemerasan, prostitusi, dan perdagangan narkoba. Tetapi saat bencana datang mereka mempertimbangkan alasan pencurian untuk pengusiran ataupun pejarahan kepada warga terdampak.

Nah, di Indonesia budaya saling mengawasi dan membantu sudah hilang dan cenderung hukum hutan yang berlaku, siapa yang depat dia dapat dan siapa yang kuat dia berhasil. Saya menduga kebiasaan orang-orang di negara kita sudah jauh dari kata tradisi budaya kita sesungguhnya yang mengedepankan gotong royong dan saling membantu, Jika masih saja tega melakukan penjarahan ditempat bencana tentu perlu perbaikan karakter.

Memang perlu lama untuk menanamkan rasa kejujuran dan disiplin kepada setiap orang, tapi itu tidak tidak penting. Yang terpenting kita terus mencoba dan belajar dari sejarah, bahwa jika hidup baik akan mendatangkan masa depan yang damai dan indah. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *