Setwapres Pecat Sepihak Tenaga Ahli Stunting

JAKARTA — Ditengah pandemi Covid-19, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) justru melakukan pemecatan sepihak kepada sejumlah tenaga ahli pada Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) Stunting.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut dinilai cacat hukum karena melanggar UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan.

Bacaan Lainnya

Kuasa Hukum Tenaga Ahli Stunting, Ridho mengatakan apa yang dilakukan Setwapres sangat tidak manusiawi. Apalagi, pemecatan tersebut dilakukan saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19.

“Ini lembaga negara, pemerintah. Masa justru mencontohkan hal yang tidak baik kepada publik. Apalagi alasan pemecatan yang dilakukan terkesan mengada-ngada dan tidak sesuai prosedur ketenagakerjaan,” ungkap Ridho di Jakarta, Senin (30/3).

Ridho menjelaskan, alasan Setwapres melakukan pemecatan terhadap enam orang tenaga ahli stunting karena mereka dianggap memiliki kinerja buruk. Namun, lanjut Ridho, saat ditanya seperti apa proses evaluasi kinerja tersebut, Setwapres tidak mampu menunjukkannya.

Lazimnya, menurut Ridho, jika seorang pekerja dinilai berbuat kesalahan atau dianggap memiliki kinerja yang buruk maka pemberi kerja wajib melayangkan surat peringatan (SP) kepada pekerja tersebut dengan tenggat waktu tertentu untuk melakukan evaluasi dan perbaikan.

“Klien kami tidak pernah menerima SP 1, 2 , maupun 3. Tiba-tiba dipanggil satu persatu oleh juru bayar yaitu PT LPPSLH, dan langsung dipecat begitu saja. Padahal mereka dikontrak selama 30 bulan, dan baru akan berakhir tahun 2021 mendatang,” paparnya.

Ridho menerangkan, status para tenaga ahli stunting seperti tertera dalam kontrak kerja adalah sebagai karyawan dengan perjajian kerja waktu tertentu (PKWT). Artinya, kata dia, sudah seharusnya seluruh tenaga ahli tersebut menyelesaikan pekerjaannya sampai dengan jangka waktu berakhir kontrak.

Akibat kejadian ini, menurut Ridho, para tenaga ahli stunting korban pemecatan mengalami tekanan psikologis yang hebat. Apalagi, ditengah situasi darurat bencana non alam Covid-19 ini.

“Mereka punya anak, istri, punya keluarga, dan rata-rata merupakan tulang punggung keluarga. Apa ini bisa disebut manusiawi ?. Setahu saya, sampai hari ini belum ada satu pun dari mereka yang mendapatkan pekerjaan,” tuturnya.

Ridho menuturkan, pihaknya telah melakukan upaya perundingan dengan Setwapres yang diwakili oleh PT LPPSLH, namun tidak menemui titik temu. Rencananya, perkara ini akan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) agar para korban memperoleh keadilan.

“Kami menuntut ganti rugi atas kerugian materil akibat PHK sepihak ini senilai Rp3,5 miliar,” imbuhnya. (jpg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *