Kekerasan Atas Nama Pendidikan, Bolehkah?

Oleh Dede Permana, M.Pd.
(Dosen Program Studi PGSD, Universitas Nusa Putra Sukabumi)

FENOMENA Kenakalan anak dan remaja bukanlah sebuah fenomena baru, dan tentu akan terus ada sepanjang masa. Masa anak-anak dan remaja adalah masa disaat mereka melakukan pencarian jati diri.

Bacaan Lainnya

Who am I ?

itulah pertanyaan yang harus dibantu oleh seorang Guru sebagai pendidik dalam rangka mengarahkan generasi muda bangsa.

Perilaku siswa tidak nurut, tidak disiplin, melawan, sulit diberi tahu, merokok, dan tidak mengerjakan tugas adalah masalah klasik bagi kalangan pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Lantas bagaimana cara untuk menghilangkan perilaku tersebut?

Apakah perlu dengan cara keras?.

Kerasnya seorang guru terhadap siswa seringkali timbul akibat kenakalan-kenakalan yang dilakukan siswa tersebut, padahal tidak ada satupun data yang mendukung bahwa adanya korelasi antara mendidik dengan keras dan kenakalan.

Jika berkaca pada masa lalu, memang banyak guru yang mendidik dengan keras, tapi saat itu siswa nakal juga tetap banyak.

Suasana pendidikan yang sehat muncul dari cara mendidik yang baik. Sejatinya persoalan mendidik bukan dipandang tentang lunak ataupun keras, melainkan bagaimana seorang Guru mampu membangkitkan semangat positif untuk berubah.

Memang betul, tidak semua anak jika diberitahu dengan halus langsung berubah menjadi baik, tapi apakah jika semua anak diperlakukan dengan keras akan disiplin?

Seorang Guru idealnya mampu memahami perkembangan perilaku anak sehingga mampu memberikan treatment yang tepat ketika anak berperilaku menyimpang.

Seperti yang dikatakan pada paragraf pertama, seorang Guru harus mampu membantu siswanya untuk bisa menjawab pertanyaan Who am I? siapakah aku?, Artinya guru harus mampu membantu siswa dalam mengidentifikasi jati diri mereka.

Proses pembentukan konsep diri (jati diri) merupakan proses yang berjalan terus menerus seumur hidup, diawali saat manusia berkomunikasi hanya dengan menangis.

Kita tahu, saat seorang bayi haus, buang air, dia akan otomatis menangis. Disitulah artinya mereka sedang belajar dan memaknai bahwa ketika menangis, orang dewasa akan memberikan pelayanan bagi mereka seperti memberi ASI, mengganti popok dan sebagainya. Artinya, bayi sudah belajar bahwa menangis adalah cara untuk berkomunikasi.

Pada usia anak dan remaja, proses pencarian identitas diri akan lebih banyak melibatkan pola interaksi dengan orang lain, interaksi dan respon orang lain akan turut memengaruhi atau menjadi penting bagi kehidupannya. Pada masa ini, mereka harus dibantu memperoleh pemahaman tentang seperti apa dirinya, melalui aktivitas yang dilakukannya.

Selain mendidik, tugas lain seorang guru adalah membimbing, dalam konteks memberikan bimbingan guru hendaknya membantu siswa menemukan berbagai potensi dirinya agar dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri, produktif dan bertanggungjawab.

Bimbingan dan didikan tersebut bisa saja dilakukan dengan berbagai pendekatan, keras ataupun lunak, namun tidak dengan melakukan kekerasan.

Kekerasan tidak boleh terjadi dalam bidang apapun terutama dalam bidang pendidikan. Makna dari kekerasan dalam pendidikan adalah sebuah hukuman yang terasa bagi siswa sehingga siswa merasakan sakit, baik sakit secara fisik, ataupun sakit secara psikologis.

Padahal inti dari pemberian hukuman yang mendidik adalah agar timbul kesadaran siswa terhadap perilakunya yang salah dan berkomitmen tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Kekerasan fisik berbeda dengan hukuman fisik (misalnya push up, lari keliling lapangan, membersihkan atau menyapu kelas) diperbolehkan dalam konteks mendidik namun tetap harus disepakati bersama oleh guru dan siswa serta diinformasikan juga kepada orang tua siswa.

Akhir kata, mari kita sepakati untuk selalu mendidik dan membimbing siswa dengan mengedepankan nurani, bukan mengedepankan emosi.(***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *