Langkah Yusril Bikin Sejumlah Pakar Hukum Geleng Kepala

Yusril Ihza Mahendra. (Fedrik Tarigan/Jawapos)

JAKARTA – Sejumlah pakar hukum tata negara dari berbagai kampus di seluruh Indonesia mengkritik langkah advokat Yusril Ihza Mahendra menggugat AD/ART Partai Demokrat melalui judicial review (JR) pada Mahkamah Agung (MA). Langkah hukum Yusril tersebut dinilai sebagai manipulasi intelektual yang berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.

Lektor Kepala Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar mengatakan peraturan perundang-undangan yang umumnya diujimaterikan ke MA merupakan produk lembaga negara. Sementara AD/ART bukanlah produk lembaga negara, melainkan partai. Dan, kedudukan partai tidak sama dengan lembaga negara.

Bacaan Lainnya

“AD/ART itu konstitusi bagi partai, internal partai. Secara ketatanegaraan mustahil untuk menyamakan AD/ART dengan peraturan perundang-undangan. Kan yang bisa dibawa ke Mahkamah Agung itu adalah peraturan perundang-undangan. AD/ART itu bukan peraturan perundang-undangan bagaimana bisa digugat di MA?” ujar Zainal saat dikonfirmasi, Rabu (6/10).

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan, MA tidak berwenang menguji AD/ART partai politik. Pasalnya, AD/ART bukanlah keputusan yang berada di bawah undang-undang.

“Sesuai teori, AD/ART adalah aturan yang sifatnya hanya mengikat untuk kader parpol yang bersangkutan. Tokoh sentral parpol juga tidak hanya ada di Demokrat saja, tapi juga di partai-partai lainnya termasuk Yusril yang masih menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB),” katanya.

Selain itu, menurut Feri pihak yang berhak melayangkan gugatan harus merupakan kader dari partai yang bersangkutan. Sementara, empat orang yang mengajukan gugatan JR ke MA sudah tidak lagi berstatus kader Partai Demokrat.

Mereka sudah dipecat oleh Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) karena terindikasi melakukan kudeta. “Bayangkan semua warga negara bakal bisa menguji AD/ART parpol manapun. Stabilitas parpol akan terganggu,” tegas Feri.

Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Luthfi Yazid khawatir, jika MA sampai mengabulkan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat, maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum.

“Sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan uji materi terhadap AD/ART partai politik atau organisasinya sehingga menafikan kepastian hukum,” katanya.

“AD/ART adalah sifatnya kesepakatan internal partai politik, sedangkan yang dapat diajukan judicial review adalah regulasi yang dibuat otoritas resmi untuk kepentingan umum,” tambahnya.

Luthfi menjelaskan setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah objek uji materi di MA. Ketiga aspek tersebut yakni eksistensi norma, relasi, dan implikasinya.

“Yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra bukanlah terobosan hukum, melainkan logical fallacy. Apakah ini juga patut diduga sebagai intellectual manipulation?” ungkapnya.

Dosen hukum tata negara Universitas Trisakti, Jakarta, M. Imam Nasef menegaskan, pengajuan AD/ART parpol dengan skema uji materi ke MA bukanlah legal breakthrough, tetapi breaking the law. “Mengapa demikian? Karena sesungguhnya sudah ditentukan skema dan jalurnya oleh UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) melalui skema perselisihan partai politik,” tuturnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Aminuddin Ilmar mengingatkan pengesahan pendirian partai politik, termasuk di dalamnya anggaran pasar partai politik, telah melalui proses penelitian atau verifikasi oleh Kemenkumham untuk disahkan sebagai badan hukum.

“Kalaupun ada peraturan dan keputusan yang dibuat parpol yang tidak sesuai dengan AD/ART parpol, apalagi bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka tentu saja peraturan atau keputusan partai politik itulah yang haruslah diuji, apakah absah ataukah tidak,” paparnua.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *