KPK Tetapkan Sjamsul dan Istri Tersangka Korupsi

JUMPA PRES: Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat menggelar jumpa pers di Gedung KPK beberapa waktu lalu (Dery Ridwansyah/Jawa Pos.com)

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan pengendali saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka.

Keduanya diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Bacaan Lainnya

“Setelah melakukan proses penyidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka KPK membuka penyidikan baru terhadap pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (10/6).

Penetapan tersangka ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan korupsi yang telah menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.

Syafruddin telah dijatuhi hukuman 15 tahun pidana penjara, ditambah dengan Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.

Perbuatan Syafruddin diduga telah memperkaya Sjamsul dan istrinya sebanyak Rp4,58 triliun.
Praktik korupsi ini berawal pada 21 September 1998, BPPN dan Sjamsul melakukan penandatanganan penyelesaian pengembilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquistion Agreement (MSAA).

Dalam MSAA itu, disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun berupa penyerahan aset.

“Jumlah kewajiban SJM selaku pemegang saham pengendali BDNl adalah sebesar Rp47.258.000.000.000,” jelas Saut.

Kemudian kewajiban itu dikurangi dengan sejumlah aset milik Sjamsul senilai Rp18.850.000.000.000 termasuk di antaranya, pinjaman kepada petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Aset senilai Rp4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.

Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi. Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi.

“Dan memintanya menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun SJN menolak,” ungkap Saut.

Selanjutnya, pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang diwakili isterinya, Itjih serta pihak lain.

Pada rapat tersebut Itjih mengklaim Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi. Pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul.

Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.

Setelah melalui beberapa proses, meskipun Ratas tidak memberikan persetujuan namun pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisikan, pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.

“Pada 26 April 2004, Syafruddin menandatangani surat No. SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipesena menjadi hilang atau hapus,” beber Saut.

Lalu, kata Saut, pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih hutang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA).

Terakhir, pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp220.000.000.000. Padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 Triliun.

“Sehingga, diduga kerugian jeuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp4,58 triliun,” jelas Saut.

Sjamsul dan Itjih disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menanggapi hal ini, pengacara Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail menyatakan dirinya belum berkonsultasi terkait penetapan kliennya tersebut. Dia mengaku akan membuka komunikasi terkait penetapan tersangka tersebut.

“Saya belum sempat bicara dengan pak Nursalim dan Ibu, baru tahu kalau beliau berdua ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Maqdir kepada JawaPos.com.

Maqdir belum mengetahui, apakah tim kuasa hukum akan mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap kliennya tersebut.

“Saya belum bisa tentukan sikap atas penetapan sebagai tersangka tersebut,” tegas Maqdir.

Kendati demikian, Maqdir mengaku belum menentukan sikap apakah akan kooperatif atas penetapan tersangka terhadap kliennya.

“Kami belum membicarakan langkah selanjutnya,” tukas Maqdir.

(jpg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *