Gubernur Ridwan Kamil Berangkat Haji Atas Nama Eril, Begini Hukumnya Islamnya 

Ridwan Kamil Berangkat Haji
Ridwan Kamil Berangkat Haji Atas Nama Eril

JAKARTA — Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil akan menunaikan ibadah haji dengan memakai nama almrahum putranya, Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril. Ridwan Kamil juga akan menunaikan ibadah haji di Tanah Suci bersama dengan belasan ribu jemaah dari Jawa Barat pada Juli 2022 ini. Sebelum pergi ke Tanah Suci, Ridwan Kamil juga mengaku sempat berziarah dan pamitan di makam Eril.

Hal itu diungkapkan oleh Ridwan Kamil di akun Instagram pribadinya, pada 3 Juni 2022. Suami dari Atalia Praratya ini juga tampak mengunggah video saat mengunjungi makam putra sulung itu bersama sang istri.

Bacaan Lainnya

Tampak dalam video, Ridwan Kamil dan istri mendatangi makam Eril dan menaburkan bunga di atas kuburannya. “Besok Senin saya sebagai Gubernur, akan pergi menunaikan tugas memimpin jemaah Haji Jawa Barat yang berjumlah 17,000-an jemaah. Doakan aman kondusif selama di sana,” tuis Ridwan Kamil, dilansir dari Instagram @ridwankamil, pada 3 Juli 2022.

“Sekalian di momen ini, saya akan berhaji atas nama almarhum Emmeril Kahn Mumtadz. Karenanya, tadi pagi ziarah, pamit dan berdoa di makam Eril” sambungnya.

Ridwan Kamil juga memohon doa dari semuanya agar diberi kelancaran dan seluruh jemaah haji Jawa Barat dan Indonesia lancar dan sehat selamat kembali ke tanah air sebagai Haji mabrur dan Hajjah mabrurah.

“SIAPA yang mau menitipkan doa , silakan tulis di kolom komen. Jika Allah SWT izinkan dan beri kemudahan saya akan bantu doakan di Padang Arafah dan depan Kabah” tulis ayah dari almarhum Eril.

Lantas bagaimana hukumnya memakai nama orang yang sudah meninggal untuk berhaji, dalam Islam? Dilansir dari rumaysho, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya:

Barangsiapa mati dan belum berhaji karena sakit, miskin atau semacamnya, apakah ia mesti dihajikan?

Beliau rahimahullah menjawab:

Orang yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama:

Saat hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya.

Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)

Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?”

“Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai). Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.

Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)

Kedua:

Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan sebelumnya.

Begitu pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab,

“Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu ‘Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.

Adapun firman Allah Ta’ala,

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39). Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau usaha orang lain. Ulama tafsir dan pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah amalan milik kita. Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat.

Sebagaimana bermanfaat do’a dan sedekah dari saudara kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai gantian untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah).

Pos terkait