Ahmadiyah Tak Bisa Dicantumkan di KTP

BANDUNG – Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukan bagian dari penghayat kepercayaan. Karena itu pengikut kelompok ini tidak bisa mencantumkan identitas keyakinan mereka pada kartu tanda penduduk (KTP) maupun kartu keluarga.

JAI tidak sama dengan masyarakat penganut kepercayaan, sebagaimana sebelumnya telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Bacaan Lainnya

“Untuk Ahmadiyah ini tidak masuk dalam penghayat kepercayaan. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), penghayat kepercayaan itu satu yang terbagi dalam 187 organisasi.

Di situ tidak ada Ahmadiyah,” ujar Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh di Bandung, kemarin (13/11).

Selain bukan bagian dari penghayat kepercayaan, Ahmadiyah kata Zudan, juga belum berdiri sebagai agama tersendiri.

Di Indonesia saat ini hanya ada enam agama yang diakui oleh pemerintah. Yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

“Jadi selain bukan bagian dari penghayat kepercayaan, Ahmadiyah juga bukan bagian dari agama (berdiri sendiri sebagai agama, red),” katanya.

Meski demikian pengikut Ahmadiyah kata Zudan, tetap berhak memiliki KTP. Kewenangan Kemendagri memberikan hak tersebut pada seluruh masyarakat Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah.

Namun terkait pengaturan keyakinan masyarakat, kewenangannya tidak berada di Kemendagri.
Saat ditanya apakah ada kemungkinan kolom agama pada KTP dihapuskan, mantan Penjabat Gubernur Gorontalo ini mengatakan untuk saat ini kolom agama penting untuk pelayanan publik.

Misalnya, untuk pernikahan, perceraian, mengurus pemakaman dan lain sebagainya.

“Misalnya umat beragama Islam, itu menikah ada keterangan dari KUA, sementara penganut agama lain dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil.

Nah kalau tidak ada kolom agama, maka bisa menikah semaunya (dengan mengaku belum menikah, padahal sebenarnya sudah,red),” katanya.

Saat kembali ditanya bukankah terkait agama dapat dicantumkan di kartu keluarga saja, Zudan menegaskan masih ada satu masalah lagi.

Yaitu, belum semua lembaga terkait mengakses database kependudukan. Misalnya KUA dan kelurahan, sehingga memberi pelayanan jika hanya berdasarkan kartu keluarga akan cukup menyulitkan.

“Tapi ke depan malah lebih ektrem lagi saya kira. Bisa saja nanti tak perlu KTP lagi ketika database sudah diakses semua lembaga pelayanan publik dan penduduk telah terdata dengan baik.

Ini mungkin saja, tapi saat ini masih diperlukan (KTP dan kolom agama pada KTP, red),” pungkas Zudan.(gir/jpnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *