Sempat Stagnan, KPA Kota Sukabumi Tancap Gas Penanganan HIV/AIDS

KPA-Kota-Sukabumi
Sejumlah peserta saat mengikuti rapat koordinasi pentahelix di Ruang Rapat Dinas Kesehatan Kota Sukabumi

SUKABUMI — Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Kota Sukabumi, bakal tancap gas dalam melakukan dalam upaya penanganan dan penanggulangan HIV/AIDS. Pasalnya, selama lebih dua tahun upaya penanganan dan penanggulangan sempat stagnan karena pemerintah fokus terhadap penanganan Covid-19.

Sekretaris Harian KPA Kota Sukabumi, Fifi Kusumajaya mengatakan, salah satu bidikan utama adalah target 2030 Indonesia bisa mencapai three zero sehingga tidak ada lagi penularan HIV/AIDS baru, tidak ada lagi kasus meninggal dunia serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi kepada pengidap HIV/AIDS.

Bacaan Lainnya

“Kami optimistis dengan kerja sama lintas sektoral target tersebut bisa tercapai,” kata Fifi kepada Radar Sukabumi, Jumat (24/6).

Guna mencapai upaya tersebut, lanjut Fifi, perlu adanya peran serta dan kerjasama yang terjalin baik dengan semua elemen. Sebab itu, semua instansi dan stakeholder agar bisa membantu dalam penanganan HIV/AIDS.

“Karena jika dilakukan bersama-sama, tidak akan terlalu berat, anggaran tidak akan terlalu besar. Memang dua tahun terakhir kami tidak maksimal karena Covid-19, dan bisa melakukan kegiatan sebatas via daring. Namun tak menghalangi niat untuk membantu dan menangani terkait masalah HIV/AIDS,” ujarnya.

Disinggung soal data, Fifi menjelaskan, dari data yang tercatat Dinas Kesehatan Kota Sukabumi pada 2019 ada temuan 169 kasus baru HIV/AIDS. Angka ini, menurun apabila dibandingkan pada 2020 yakni 157 kasus baru.

Pada 2021 angka kasus baru kembali naik menjadi 167. Sementara di tahun 2022 terhitung hingga Mei, baru tercatat ada 70 temuan kasus baru HIV/AIDS.

“Dari 70 kasus baru itu, 29 warga Kota Sukabumi. Karena memang yang ditangani di beberapa fasilitas kesehatan rujukan HIV/AIDS bukan untuk warga Kota Sukabumi saja. Sampai saat ini penelusuran, penanggulangan dan pendataan tetap jalan,” jelasnya.

Adapun penyebab, sambung Fifi, salah satu penyumbang penularan HIV/AIDS terbesar di Sukabumi adalah akibat hubungan seks sesama jenis, Lelaki Suka Lelaki (LSL).

Selain itu, risiko tinggi berikutnya yakni ketika dalam satu keluarga terdapat satu orang pengidap HIV/AIDS namun tak terdeteksi.

Risiko tinggi juga mengancam pria maupun wanita yang gemar berganti pasangan dalam berhubungan seks dan ibu hamil atau menyusui pengidap HIV/AIDS juga berpotensi menularkan kepada bayi yang disusui.

“Sebetulnya penularan dengan risiko tinggi itu paling banyak terjadi pada hubungan seks, atau istilahnya seks bebas. Penularan dari jarum suntik juga masih dalam kategoris berisiko tinggi,” bebernya.

Karena itu, sangat penting untuk bisa mendeteksi dini agar terkontrol. Stigma dan diskriminasi masyarakat kepada pengidap HIV/AIDS masih harus dihilangkan. “Karena itu, masih butuh banyak edukasi dan sosialisasi dan butuh kolaborasi dengan semua pihak,” cetusnya.

Pihaknya berharap, beberapa rumah sakit rujukan dengan fasilitas lengkap masih melakukan pelayanan dan pengobatan kepada para pengidap HIV/AIDS.

Adapun, rumah sakit rujukan yang dimaksud antara lain RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, RSI Asyifa Kota Sukabumi, RS Almulk Kota Sukabumi dan RSUD Sekarwangi Cibadak, Kabupaten Sukabumi.

“Tapi memang masih terbatas. Untuk obat untuk pengidap HIV/AIDS masih tersedia namun memang harganya masih cukup mahal,” tutupnya. (bam)

Pos terkait