Hari-Hari Penuh Trauma Para Korban Gempa Lombok

Trauma para korban gempa Lombok macam-macam. Ada yang sangat sensitif terhadap suara keras. Ada yang merasa tubuhnya selalu bergoyang. Ada pula yang trauma pada tembok.

UMAR WIRAHADI, Mataram-DWI WAHYUNINGSIH, Surabaya

Bacaan Lainnya

SALAT Asar baru saja selesai dikerjakan. Belum lagi sarung dan mukena dilepas para pengungsi di tenda masing-masing, sebuah benturan keras terdengar.

Kontan saja, tanpa dikomando, warga lari semburat. Berhamburan keluar dari tenda di tempat pengungsian yang terletak di kompleks RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Mataram, itu.

”Ya Tuhan, saya kira gempa,” kata Hadiati, salah seorang warga yang berdiri tak jauh dari Jawa Pos Selasa (21/8). Belakangan diketahui, suara tersebut timbul dari laju truk yang menghantam trotoar jalan. Di samping area RSUD NTB.

Hadiati adalah salah seorang pengungsi yang menempati tenda pengungsian di kompleks RSUD NTB. Sambil mengungsi, warga Bayan, Kabupaten Lombok Utara (KLU), itu juga menjaga salah seorang kerabatnya yang menderita luka-luka akibat gempa 5 Agustus lalu.

Sudah dua minggu Hadiati tidur di bawah tenda itu. ”Takut dengan suara-suara keras,” akunya. Setiap kali mendengar suara keras, dia mengaku langsung kaget. Takut. Trauma. Itu adalah dampak gempa yang menghantui Hadiati dan korban gempa lainnya. Sebab, setelah gempa besar pada 29 Juli dan 5 Agustus, Lombok sudah ratusan kali diguncang lindu susulan.

Di halaman RSUD NTB ada sekitar 40 pengungsi. Sebagian besar masih bertahan karena ikut menjaga kerabat yang dirawat di rumah sakit pemerintah itu.

Rasa trauma yang mendalam juga dirasakan Ruhan. Perempuan 42 tahun warga Desa Rarang, Kecamatan Terara, Lombok Timur (Lotim), tersebut juga sangat sensitif dengan suara keras. ”Tadi saya kira gempa karena suaranya keras sekali. Makanya cepat-cepat lari,” ucapnya tentang kejadian truk menabrak trotoar itu.

Dampak gempa memang sangat membekas di pikiran ibu dua anak tersebut. Sabtu malam lalu (18/8) misalnya. Hanya karena piring di rak dapur terjatuh ke lantai, dia langsung terperanjat bangun dan lari ke luar rumah. Ruhan mengira ada gempa. ”Tetangga saya bilang tidak ada gempa. Ternyata belakangan saya tahu piring pecah karena disenggol tikus,” kata dia, lalu tertawa kecut.

Muhamad Mahrun, warga Desa Malaka, Pemenang, KLU, mengaku seperti selalu merasakan getaran gempa. Saat duduk, sekujur tubuhnya seperti bergoyang. Meskipun realitasnya tidak ada gempa bumi. Gempa seakan-akan menjadi halusinasi. ”Getaran hampir setiap hari saya rasakan. Padahal, orang bilang tidak ada gempa,” ungkapnya.

Pascagempa, Mahrun bahkan mengaku punya ”objek” baru yang menakutkan: bangunan bertembok. Pengalaman pahit itu dirasakan karena rumahnya yang bertembok kini telah hancur. Rata dengan tanah. ”Sekarang saya takut dengan bangunan pakai tembok. Kelihatan seperti mau roboh,” ucapnya.

Kasubbaghumas RSUD NTB Solikin membenarkan bahwa pengungsi korban gempa memiliki gejala-gejala trauma. Itu terlihat dari sikap korban yang sangat menjauhi bangunan. ”Awalnya ada yang bertahan di tanah lapang. Tidak mau masuk tenda. Disangka akan roboh,” katanya.

Pihak rumah sakit pun mengerahkan tim psikolog. Lambat laun sikap para korban kini mulai normal kembali. Pihaknya mengobati dampak psikis itu dengan melakukan pemulihan trauma (trauma healing). ”Kami melakukan pelan-pelan. Karena dampak trauma itu belum hilang,” ujarnya.

Sejak gempa kali pertama terjadi 29 Juli, RSUD NTB sudah menangani 399 korban. Sebanyak 31 di antaranya telah meninggal dunia. Selebihnya sudah dioperasi. Sampai Selasa rumah sakit setempat masih merawat 64 korban gempa. Karena khawatir gempa susulan, perawatan dilakukan di halaman rumah sakit.

Kondisi di RSUD Kota Mataram lebih tragis. Sejak Minggu (19/8) seluruh pasien dievakuasi dari ruang-ruang perawatan ke halaman rumah sakit. Area berukuran 25 x 150 meter yang sebelumnya berfungsi sebagai halaman parkir kini berubah menjadi kamar-kamar darurat.

Pantauan Jawa Pos Selasa, seluruh pasien (sebanyak 99 orang) dirawat di area itu. ”Ini langkah antisipasi demi keamanan pasien dan petugas,” tutur Humas RSUD Kota Mataram dr Rachmi Hamdiyati.

Betapa tidak. Bangunan rumah sakit yang baru setahun ditempati itu juga terkena dampak gempa. Sejumlah sudut bangunan tampak retak-retak. Rawan ambruk sewaktu-waktu. Sebagian titik bahkan telah roboh.

Karena gempa bukan jenis bencana yang sekali terjadi lalu selesai, tantangan berat pun dihadapi tim medis. “Khususnya psikiatri dalam melakukan penanganan,” ujar dr Era Catur Prasetya, PPDS Kejiwaan FK Unair-RSUD dr Soetomo yang menjadi relawan di Lombok.

Sebab, stresor yang muncul terus-menerus terjadi. Terapi belum selesai, stresor kembali muncul. Sejak awal bencana pada 29 Juli lalu, reaksi stres akut ditunjukkan para korban. Di rumah sakit rujukan, skrining terhadap pasien yang datang berobat selalu dilakukan.

Jika memang ada indikasi pasien dengan pola perilaku yang tidak sesuai, akan langsung dilakukan terapi. Tentu penanganan di rumah sakit dan komunitas berbeda. Dokter PPDS lain yang juga menjadi relawan, Frida Ayu, bahkan menemukan anak yang sampai mengalami PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascabencana. “Ada satu anak yang sampai tidak berani kalau gelap. Dia mengalami ketakutan yang luar biasa,” tuturnya.

Gempa yang terjadi di Lombok pada malam memang selalu membuat listrik padam. Itulah yang kemudian menimbulkan trauma bagi anak tersebut. Bayangan kembali terjadinya guncangan selalu menghantui ketika gelap menyergap.

Tidak hanya itu. Dalam sesi lain, dokter yang akrab disapa Ayu itu juga melihat adanya efek trauma. Pada sesi psychological first aid (PFA), dia menemukan beberapa gambar yang cukup membuatnya terkejut.

Di antara 87 anak yang ikut, ada 11 yang gambarnya membuat merinding. Salah satunya adalah gambar dengan latar belakang gelap. Kemudian, ada gambar seorang anak meringkuk di bagian bawah. Ada lagi gambar sebuah pelangi. Meski terlihat ceria, lukisan tersebut diberi tulisan tebal Akhir Kesengsaraan Pulau Lombok. “Yang paling ekstrem sampai tubuhnya kaku, lalu tertawa sendiri. Butuh tiga hari sampai akhirnya bisa kembali berkomunikasi,” ujarnya.

Bukan hanya para korban di barak pengungsian yang mengalami trauma. Tenaga medis di sana mengalami hal serupa. Selain korban, mereka sekaligus relawan yang membantu. Apalagi, jumlah dokter spesialis di daerah tersebut cukup terbatas. “Tenaga medis yang asli bertugas di sana tidak hanya lelah fisik, tetapi juga mental. Saya sendiri sempat hampir mengalami kecemasan menyeluruh,” ujar dr Emmy Amalia SpKJ.

Sejak gempa besar pertama melanda akhir Juli lalu, dokter yang praktik di RSUD Provinsi NTB tersebut mulai bertugas. Meski juga menjadi korban, mereka tetap “dituntut” untuk bekerja. Sesuai dengan profesinya, para tenaga medis itu harus siap sedia dimintai bantuan saat pulang dari rumah sakit.

Dokter spesialis kejiwaan RSUD dr Soetomo Nalini Muhdi mengatakan, seharusnya tenaga medis tersebut diungsikan sementara. Itu bertujuan untuk menjaga sisi kejiwaan mereka agar tidak ikut mengalami guncangan. Misalnya, yang dirasakan Emmy.

Dia hampir mengalami kecemasan menyeluruh sebelum akhirnya memutuskan untuk ke Surabaya sejenak sebelum kembali bertugas. Para relawan pun tidak boleh terlalu lama berada di sana. Harus dilakukan rolling. Hanya mengandalkan tenaga dan materi dari relawan tentu tidak akan cukup. “Sebenarnya, yang paling dikhawatirkan adalah jika pesta sudah usai. Saat semua relawan sudah kembali pulang. Inilah awal bencana sebenarnya,” tambahnya.

 

(*/c9/c6/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *