Berkeliarannya Buaya, Piton, dan Kobra di Tengah Banjir Samarinda

Ular piton yang ditangkap warga saat banjir melanda Samarinda, Senin (10/6)

Air bah membawa ular dan buaya ke tengah jalan, kompleks perumahan, serta permukiman padat penduduk. Meski rata-rata panjangnya cuma 1 meter, buaya-buaya muara yang tertangkap terkenal ganas dan agresif.

M. SAFRI, Samarinda

SUDAH sejak kecil dia diperkenalkan kepada warga sekitar. Aban, sang induk semang, biasa menggendongnya ke mana-mana. Memperlihatkannya kepada para tetangga, terutama anak-anak.

Beranjak dewasa, Aban, warga Gang Nibung, Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda juga masih sering memamerkannya. Tidak digendong lagi. Melainkan mengeluarkannya dari tempat tinggalnya.

Jadi, ketika Senin lalu (10/6), saat banjir melanda Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur, ia kelihatan muncul di tengah perkampungan, warga tak lantas panik. Sebab, mereka tahu, ia jinak.
Si dia yang seekor buaya itu pun ditangkap dan diserahkan kembali ke sang pemilik. ”Alhamdulillah, tidak pernah ada yang digigit. Buaya ini kalau sudah diberi makan dan kenyang ya sudah, pasti aman,” ujar Aban kepada Samarinda Pos Selasa (11/6).

Buaya hanyalah salah satu reptil yang banyak berkeliaran di tengah banjir yang melanda 4 kelurahan dan 3 kecamatan di ibu kota Kaltim tersebut. Hingga kemarin, setidaknya ada lima laporan kemunculan ular sanca dan kobra di tengah perkampungan warga yang tengah terendam air bah. Tapi, bisa jadi jumlah reptil yang tak terlihat atau terpantau warga lebih banyak lagi.

Walau belum ada korban jiwa karena terlilit atau tergigit ular, kemunculan mereka lumayan meresahkan warga. ”Untungnya, anak-anak di sini sudah sering melihat ular. Mereka (anak-anak) biasanya langsung teriak dan lari kalau melihat ular,” ujar Hamidi, warga Jalan PM Noor, Samarinda Utara, yang turut menangkap seekor ular sanca Senin lalu.

Hamidi menuturkan, ular sanca sepanjang sekitar 3 meter yang ikut dia tangkap muncul dekat dengan rawa. ”Kami lihat ular itu juga baru saja memakan binatang. Bisa jadi ayam karena bagian perut ular itu besar,” kata Hamidi.

Kawasan tempat munculnya ular-ular itu selama banjir pun bervariasi. Ada yang di tengah jalan, di kompleks perumahan, hingga permukiman padat penduduk. Benang merah dari keseluruhan tempat-tempat itu adalah adanya rawa di sekitarnya.

Menurut Akmaludin, ketua Samarinda Animal Rescue (SAR), gabungan petugas Disdamkar Kota Samarinda, dan relawan pencinta binatang, mengatakan bahwa sanca mudah ditemukan di daerah rawa. Juga di tempat lembap lain. ”Ular itu sering sekali muncul di malam hari untuk mencari makan,” jelasnya.

Sejauh ini, dan selama menerima laporan keberadaan reptil liar buaya maupun ular, Akmaludin dan tim belum pernah menemukan kasus warga tergigit. ”Karena buaya maupun ular itu cepat sekali bersembunyi jika mendengar suara-suara seperti orang berjalan atau berlari,” terangnya.

Untuk buaya, yang muncul di saat banjir Samarinda umumnya adalah buaya peliharaan. Sebab, Samarinda bukan habitat binatang purba itu, Berbeda dengan Sangatta, Kutai Timur. ”Rata-rata untuk buaya adalah binatang peliharaan karena untuk di Samarinda tidak ada habitatnya. Berbeda dengan di Sangatta, Kutai Timur,” tutur Akmaludin.

Buaya milik Aban, misalnya, dipelihara di kandang yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah tetangga. Kampung tempat dia bermukim memang dikenal sebagai kampung padat penduduk. Kawasan itu bahkan sudah sering diwacanakan untuk dibongkar karena adanya rencana normalisasi aliran Sungai Karang Mumus (SKM).

Dari sungai itu pula dulu Aban mendapatkan si buaya. Rumahnya memang berada di tepi sungai tersebut. Samarinda memang dikelilingi banyak sungai. Yang terbesar adalah Sungai Mahakam yang menjadikan Samarinda dijuluki Kota Tepian.

Untuk makan si buaya, dia mengandalkan tikus yang banyak berkeliaran di kampungnya. Juga, bangkai ayam yang dibuang ke sungai. Kebetulan rumahnya dekat Pasar Segiri, salah satu pasar tradisional modern di Kota Tepian. ”Selama ini buaya peliharaan saya tidak mengganggu warga,” katanya.

Hanya, lanjut dia, saat banjir yang sempat mencapai ketinggian 1,3 meter menerjang kawasan tempat dia tinggal, si buaya lepas dari kandang. Itu pun tidak sampai masuk ke rumah tetangga yang terdekat dari kandang. ”Cuma di teras,” katanya.

Sejauh ini SAR sudah mengamankan dua buaya dekat permukiman dan dekat SKM. Ukuran buaya yang berkeliaran pun terbilang kecil. Rata-rata panjangnya 1 meter. Tidak seperti buaya yang ada di Penangkaran Buaya Makroman, Samarinda. Apalagi di Sangatta. ”Tapi, tetap berbahaya karena buaya muara terkenal ganas serta agresif,” ujar Akmaludin.

SAR tak kesulitan saat menangkap buaya dan ular yang dilaporkan warga selama banjir menggenangi Samarinda. Mereka punya alat khusus, semacam alat penjepit. ”Alat itu penting karena fungsinya menjepit bagian kepala ular dan mulut buaya,” katanya.

Aban mengaku masih ingin memelihara buayanya. Meski, memang dia mengakui kawasan tempat tinggalnya tidak ideal untuk keperluan tersebut. Tapi, bila ternyata pihak berwenang berkehendak lain, bahwa si buaya harus diserahkan, dia pasrah. ”Saya memeliharanya kan juga karena memang ingin memeliharanya saja,” ucapnya. (*/nha/c10/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *