Industri Asuransi Jadi Sorotan, Berkaca dari Kasus Jiwasraya Dan Asabri

RADARSUKABUMI.com – Industri asuransi Indonesia belakangan ini tengah menjadi sorotan. Belum tuntas polemik gagal bayar pemegang polis perusahaan milik BUMN PT Asuransi Jiwasraya (Persero), kini muncul persoalan perusahaan asuransi tentara PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (Persero).

Persamaan kasus perusahaan Jiwasraya dan Asabri adalah keduanya menempatkan pengelolaan dana nasabah di pasar saham. Padahal, investasi dengan meraup yang tinggi tentunya risiko pun juga tinggi.

Bacaan Lainnya

Menurut Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan bahwa dalam penempatan dana kelola industri, asuransi sebaiknya penempatan dana deposito perbankan maksimal 20 -50 persen dari jumlah investasi, deposito di Bank Perkreditan Rakyat maksimal 1 hingga 5 persen, obligasi sebesar 20 persen, surat berharga negara sebesar 10 persen, dan reksadana saham sebesar 20 persen.

“Lihat POJK 71 /POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Pers Asuransi dan Pers Reasuransi pasal 11,” ujarnya saat dihubungi oleh Jawapos.com, Sabtu (11/1).

Namun sayangnya, per tahun 2018, Jiwasraya telah menanamkan investasi saham lebih dari 50 persen. Sementra porsi dana kelola Asabri di pasar saham belum diketahui, tetapi ada beberapa saham yang nilai yan anjlok lebih dari 90 persen sepanjang 2019.

Sebagai informasi, saham-saham milik PT Asabri mengalami penurunan sepanjang 2019. Bahkan, penurunan harga saham di portofolio milik Asabri terjadi sekitar 90 persen. Diantaranya, harga saham PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) yang terkoreksi 95,79 persen di 2019 lalu ke level Rp 326. Lalu, saham PT SMR Utama Tbk (SMRU) yang turun sebesar 92,31 persen ke angka Rp 50.

Selain itu, keduanya juga menempatkan dananya di saham PT Hanson International Tbk (MYRX) yang sepanjang 2019 anjlok secara signifikan.

Perusahaan asuransi bermasalah milik BUMN menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat terhadap kredibilitas industri asuransi Indonesia. Selain Jiwasraya dan Asabri, terdapat juga perusahaan asuransi lainnya yang bermasalah seperti, Asuransi Jiwa Bumiputera, Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, hingga Bakrie Life.

Pengamat Asuransi Azuarini Diah Parwati memandang, perusahaan asuransi Indonesia kedepannya harus belajar dari pengalaman Jiwasraya dan Asabri. Sehingga tidak melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi Indonesia.

“Saya tetap optimistis industri asuransi akan maju, justru dengan kasus-kasus yang ada membuat perusahaan asuransi dapat belajar dari kasus tersebut dan membuat arahan kedepannya lebih baik lagi,” ujarnya.

Menurutnya, prospek industri asuransi Indonesia bergantung kepada agen asuransi dalam meyakinkan para nasabahnya terkait manfaat yang akan diterima oleh pemegang polis. “Tergantung juga kedekatan masing-masing markerting atau sales di perusahaan tersebut bagaimana meyakinin nasabah mereka bahwa polis yang dibelinya sudah tepat,” ucapnya.

Kepercayaan nasabah terhadap perusahaan asuransi, menurut Azuarini, terlihat dari komitmen perusahaan dalam pembayaran klaim pemegang polis. “Sebenarnya kembali kemasing masing nasabah itu sendiri kalau memang sudah percaya dengan asuransi yang dibelinya, maka tidak ada keragu-raguan lagi,” tutupnya. (jpg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *