Hergun: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tak Layak Pakai APBN 2021

Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan

Pasal 16 Perpres 107/2015 menegaskan bahwa konsorsium BUMN tersebut harus memberi laporan kepada Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama pembangunan prasarana.

“Apakah ketentuan tersebut sudah dilaksanakan? Bagaimana isi laporannya? Ini yang mesti dikaji terlebih dahulu,” ujar Hergun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR-RI.

Lebih lanjut, politisi dari Dapil Jawa Barat IV (Kota dan Kabupaten Sukabumi) menegaskan bahwa saat ini negara dalam kondisi sulit akibat dari Pandemi Covid-19.

Bahwa untuk mengatasi Pandemi Covid-19, telah dilakukan pelebaran defisit APBN melebihi 3% selama 3 tahun. Kebijakan ini pun berdampak melonjaknya rasio utang yang tadinya hanya 30,23% PDB pada 2019 menjadi 41,38% per September 2021.

“Saya kira melonjaknya utang harus dipergunakan secara tepat untuk mengatasi Covid-19, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mendukung UMKM serta dunia usaha. Tidak tepat bila hasil utang atas nama Covid-19 tapi digunakan untuk membiayai proyek prestisius,” tegas Hergun yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Gerindra.

Karena itu, lanjut Hergun, penggunaan SAL untuk membiayai proyek KCJB perlu dikaji ulang.

Pasal 28 UU Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN TA 2021 membolehkan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dengan catatan bila terjadi realisasi penerimaan tidak sesuai dengan target, adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN TA 2021.

“Proyek KJCB sejak awal ditetapkan sebagai proyek B to B sehingga tidak dimasukkan dalam rencana pengeluaran APBN 2015 – 2021. Namun tiba-tiba terbit Perpes 93/2021 yang menyatakan KJCB bisa didanai dengan APBN. Karena Perpres tersebut baru diterbitkan maka perlu dikaji lebih dahulu untuk bisa diakomodir dalam pengeluaran APBN 2021,” ujar Hergun.

“Saya kira proyek KCJB ini lebih baik dimoratorium dahulu untuk dilakukan audit dan kajian yang lebih komprehensif mengenai layak tidaknya menggunakan APBN,” sambungnya.

Ada beberapa alasan untuk dilakukan moratorium.

Pertama, penggunaan dana APBN sebagaimana dinyatakan dalam Perpres 93/2021 perlu dikaji lebih komprehensif karena awalnya proyek ini tidak menggunakan APBN.

Kedua, pembengkakan biaya KCJB yang mencapai 8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 114,4 triliun juga perlu diaudit. Pembengkakan tersebut sudah melebihi hitungan pihak Jepang sebagai inisiator proyek KCJB yakni 6,2 miliar dollar AS.

Ketiga, perlu opsi pembiayaan selain suntikan APBN. Saat ini terjadi likuiditas yang melimpah, dibuktikan dengan penjualan SBN yang melebihi target dan dana masyarakat (DPK) di perbankan juga melonjak secara signifikan.

KCIC bisa memanfaatkan melimpahnya likuiditas tersebut dengan menawarkan obligasi yang kompetitif.

Keempat, saat ini mobilitas masyarakat belum pulih akibat adanya pandemic Covid-19 sehingga tidak perlu buru-buru menyelesaikan pembangunannya.

Perlu diketahui, banyak proyek infrastruktur yang tidak maksimal penggunannya, di antaranya Bandara Internasional Kertajati, Bandara JB Soedirman Purbalingga, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, dan LRT Palembang.

Percepatan proyek KCJB jangan sampai hanya akan menambah daftar proyek-proyek yang tidak maksimal pemanfaatannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *