Cadangan Devisa Indonesia Turun Rp 63 Triliun

ILUSTRASI: Kantor Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin Jakarta.

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Jumlah cadangan devisa (cadev) Indonesia terus mengalami penurunan sejak April 2019 lalu.

Sampai akhir Mei lalu, cadev tercatat USD 120,3 miliar atau setara dengan Rp 1.718 triliun.

Bacaan Lainnya

Bulan sebelumnya, posisi cadev berada pada angka USD 124,3 miliar (sekitar Rp 1.775 triliun). Artinya, terjadi penurunan cadev Rp 63 triliun.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, meski turun, posisi cadev masih aman.

”Itu setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah,” jelasnya, Kamis (13/6).

Dia menambahkan, besaran cadev itu masih di atas standar kecukupan internasional untuk sekitar tiga bulan impor.

Cadev tersebut juga masih mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga stabilitas makroekonomi serta sistem keuangan.

Menurunnya cadev, menurut Onny, dipengaruhi kebutuhan pemerintah untuk pembayaran utang luar negeri.

Selain itu, juga berkurangnya penempatan valas perbankan di Bank Indonesia (BI) sebagai antisipasi kebutuhan likuiditas.

”Ke depan, BI memandang cadev masih tetap memadai dengan dukungan stabilitas dan prospek ekonomi yang tetap baik,” imbuhnya.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, penerimaan cadev yang signifikan bersumber dari utang luar negeri (ULN).

Tepatnya, global bond dan hasil konsesi pertambangan. Sementara itu, pengeluaran utama cadev adalah pembayaran pokok dan bunga ULN pemerintah.

”Intervensi BI dalam menstabilkan nilai rupiah juga sangat berdampak terhadap cadev,” ungkapnya.

Piter mengatakan, Juni ini pemerintah kembali menerbitkan global bond. Artinya, akan ada tambahan penerimaan devisa yang besar. Apabila rupiah stabil, cadev Juni akan meningkat.

Sementara itu, ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan, selain pembayaran utang dan dividen, Lebaran memengaruhi turunnya cadev.

Itu disebabkan adanya tren peningkatan impor untuk mencukupi kenaikan permintaan barang pada bulan puasa dan Lebaran.

”Jadinya kebutuhan valas naik. Padahal, penerimaan valas dari ekspor turun,” ungkapnya.

(jpnn/izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *