Aroma Kejayaan Tembakau Deli yang Semakin Memudar

MASIH KOKOH: Gudang Fermentasi Tembakau Deli PTPN II di Bulu Cina, Kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut. (Insert) Dengan tangan terampil dan kesabaran, puluhan perempuan paruh baya tetap bekerja di sini.

RADARSUKABUMI.com – Berbekal Alat Peninggalan Belanda, Perempuan Pegang Rahasia Mutu TembakauBangunan tua bertuliskan Gudang Fermentasi Tembakau Deli PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Bulu Cina, Kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, masih tampak kokoh. Bangunan ini menjadi saksi kejayaan tembakau Deli yang tersohor hingga ke Uni Eropa di abad ke-19.

SEPINTAS tidak ada yang menarik dari gudang dengan luas bangunan 0,93 hektare ini. Catnya berwarna putih, pintunya yang kokoh tertutup rapat. Tidak tampak kalau gudang yang berdiri di luas areal 1,7 hektare ini sebenarnya masih beroperasi.

Bacaan Lainnya

Bagi yang tidak paham, akan mengira gudang ini hanya jadi bangunan tua tak berpenghuni. Wajar, karena suasananya sangat sepi. Sebelum sampai ke gudang, tampak bangunan yang mirip gudang utama. Berbeda dengan gudang utama, bangunan berarsitektur Eropa ini seperti tidak terurus. Itu tampak dari beberapa bagian yang kayunya mulai lapuk. Maklum saja, gudang tembakau ini dibangun kolonial Belanda pada 1920.

Begitu gudang dibuka, tercium aroma khas tembakau. Tampak puluhan perempuan paruh baya mengenakan baju putih dengan bawahan kain batik. Mereka tampil rapi dengan polesan bedak dan gincu merahnya.

Semuanya sibuk bekerja, ada yang menyortir tembakau disesuaikan dengan tingkat koyakan (sobek), warna, dan panjang daun. Semua diberikan label kertas putih dengan tulisan tangan.

Ada 25 jenis tembakau yang harus mereka pisahkan. Semuanya dilakukan manual dengan alat-alat sederhana yang terbuat dari kayu. Yang agak modern hanya alat pengepres tembakau. Itupun merupakan sisa-sisa dari kolonial Belanda. Menurut Salmiah (68), semua alat yang dipakai untuk proses fermentasi tembakau Deli asli peninggalan Belanda. Semuanya masih tersimpan dan terawat rapi. Kalaupun ada tambahan tidak seberapa.

Salmiah sudah bekerja di gudang tembakau ini sejak 1964. Kala itu usianya baru 13 tahun. Tamatan Sekolah Rakyat ini merupakan generasi ketiga yang bekerja di situ.

Diceritakan Salmiah, nenek dan ibunya sejak dulu menjadi karyawan perkebunan. Tidak hanya Salmiah, kakak-kakak perempuannya juga bekerja di sana. Sedangkan yang laki-laki bekerja di ladang tembakau.

Ibu dua anak dan lima cucu ini tahunya sejak ikut ibunya, yang bekerja di gudang tembakau hanya perempuan. Kalaupun ada laki-laki hanya saat melakukan pengepresan untuk kemudian dibal. Uniknya lagi, perempuannya bersuku Jawa.

Mereka ini suku Jawa asli. Dulu, saat kolonial Belanda membudidayakan tembakau di Deli, dibawalah pekerja dari Tiongkok, India, dan Jawa. Suku asli di Medan hanya dipekerjakan di ladang.

Menurut Sayuti, asisten kepala tembakau dan riset PTPN II, pernah dipekerjakan suku Deli di gudang. Sayangnya tidak bertahan lama, karena untuk melakukan pekerjaan tersebut dibutuhkan kesabaran, telaten, dan teliti.

“Perempuan Jawa memang dikenal sabar, telaten, dan teliti makanya cocok jadi pekerja di gudang tembakau. Karena untuk mendapatkan tembakau berkualitas tinggi, butuh proses yang panjang,” terangnya kepada wartawan koran ini dalam rangkaian lawatan sejarah nasional (Lasenas) ke-17 di Medan, Rabu (10/7).

Salmiah salah satunya yang tetap dipekerjakan meski sudah pensiun sebagai karyawan tetap. Saat ini dia bekerja sebagai karyawan lepas dengan gaji sekira Rp800 ribu per bulan. Gaji ini sangat jauh jika dibandingkan dengan karyawan tetap sekira Rp2 jutaan.

Meski begitu dia sudah sangat bersyukur masih ada yang mau menggunakan tenaganya. Salmiah tidak sendiri. Ada banyak perempuan paruh baya yang bekerja di gudang tua itu. Termuda usianya 45 tahun, dan Salmiah paling tua.

Generasi muda enggan bekerja di gudang tembakau. Selain pekerjaan butuh ketelatenan, mereka tidak tertarik dengan gajinya yang minim. Perempuan muda lebih memilih bekerja di pabrik.

Rendahnya gaji karyawan ini diakui Sayuti. Perusahaan tidak bisa membayar lebih karena untuk mendapatkan tembakau yang siap ekspor butuh waktu satu tahun setengah. Sementara harga jual tembakau Deli dihargai sekira Rp750 ribu per kilogram.

Harga ini ditentukan oleh lelang Bremen, Jerman. Sayuti mengungkapkan, jika dilihat dari proses fermentasi tembakau yang sangat lama, tidak sebanding dengan keuntungan.

“Satu cerutu di Eropa dijual Rp400 ribu sampai sejuta. Satu cerutu terdiri dari 5 lembar tembakau. Sedangkan satu kilo tembakau Deli ada 514 lembar dan dijual sekitar Rp750 ribu,” terangnya.

Dulu, Gudang Tembakau PTPN II bisa memproduksi 1000 kilogram tembakau. Namun, dalam 4-5 tahun terakhir produksinya mulai menurun lantaran luasan areal tembakau terus berkurang.

Di masa jayanya, luas ladang tembakau mencapai 304 hektare dengan ratusan petani. Kini tinggal 4 hektare dan digarap oleh lima petani. Sebanyak 300 hektare ladang tembakau ini berganti tebu dan sawit.

“Dulu karyawannya banyak sekali. Sekarang makin sedikit. Di ladang malah tinggal lima orang. Mereka terpaksa bekerja di tempat lain karena sudah tidak dipekerjakan PT,” ungkap Salmiah.

Saat ini ada kekhawatiran bila gudang bersejarah tersebut ditutup. Dengan mata berkaca-kaca Salmiah berharap agar gudang sisa-sisa penjajahan Belanda itu dilindungi negara dan tetap dipertahankan. Keberadaannya masih dibutuhkan rakyat sekitar untuk menunjang ekonomi keluarga.

“Anak saya ada dua, laki-laki semua. Satunya kerja di perkebunan, satunya di Dinas Pertamanan. Andai anak saya perempuan, pasti saya ajak anak saya biar bisa meneruskan generasi pekerja tembakau Deli,” tuturnya.

Salmiah mengenang, masa kecilnya yang selalu diajak ibunya bekerja di gudang tembakau. Perlahan-lahan, buyut satu cicit ini mulai menguasai pekerjaan mengolah tembakau.

Rerata pekerja di gudang tembakau ini, adalah generasi ketiga dan keempat. Semuanya belajar dari orangtuanya. Sayangnya, generasi selanjutnya tidak ada yang tidak tertarik.

Sulitnya mendapatkan pekerja tembakau diakui Sayuti. Pekerja ini turun temurun dan sangat kurang orang baru. Di sisa-sisa kejayaan tembakau Deli, PTPN II berencana menghentikan ekspor ke Bremen, Jerman. Perusahaan ingin mengelola cerutu sendiri.

Sebagai tahap awal, empat hektare ladang tembakau akan dijadikan pilot project. Dengan mengolah cerutu sendiri, ada harapan nasib petani dan pekerja tembakau bisa meningkat. “Kalau prospeknya bagus, lahan tembakau akan diperluas lagi. Dengan demikian akan makin banyak pekerja yang terserap. Bila ekonomi masyarakat sekitar tumbuh, otomatis gudang bersejarah ini akan terus dirawat warga sekitar,” tandasnya. (*)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *