Kereta Hijau

Kereta Hijau oleh Dahlan Iskan

Oleh : Dahlan Iskan

Rencana saya ini ditentang tuan rumah. “Untuk apa naik kereta api 54 jam. Naik pesawat saja, 3,5 jam,” ujar mereka.

Bacaan Lainnya

Saya sudah lama punya impian: ke Xinjiang naik kereta. Melewati gurun yang maha luas. Atau ketika balik dari Xinjiang.

“Kalian saja yang naik pesawat. Saya bisa naik kereta sendirian,” jawab saya.

“Tidak bosan nanti?” tanya mereka.

“Saya bisa menulis di sepanjang jalan,” jawab saya lagi.

“Saya temani Anda. Meski dengan berat hati,” ujar Robert Lai. Teman Singapura itu.

Awalnya Robert juga menentang saya. Alasannya yang berbeda: kesehatan saya. Terlalu lelah. Setelah 10 hari keliling pedalaman Xinjiang pakai mobil.

Mereka tahu impian saya itu. Kami pun dibelikan tiket kereta. Dari Wulumuqi (ibu kota Xinjiang) ke Hangzhou.

Sebenarnya saya menyesal. Akhirnya. Apalagi teman Singapura saya itu.

Ternyata saya salah sangka. Saya kira saya akan naik kereta peluru. Yang sudah beroperasi sampai Xinjiang. Yang kecepatannya 350 km/jam itu.

Sesal kemudian tidak apa. Saya bisa segera move on. Saya berhasil menyembunyikan ekspresi kecewa. Terutama di depan Robert.

Justru Robert-lah yang kelihatan menekuk leher. Terlihat cemas di wajahnya. Tampak sangat kecewa di hatinya. Tapi tidak berani berkata-kata.

Tiba-tiba saja ia tertawa lebar: “Hahahaha… Enjoy live!” teriaknya. Membuat orang di stasiun itu melongo padanya.

Ia pun bisa move on –setengahnya.

Malam sebelumnya Robert ke supermarket. Membeli sprei, selimut, handuk, sikat gigi, antibakteri dan banyak lagi. Juga membeli bantal.

Ia tidak mau saya terinfeksi penyakit.

Mengapa saya dibelikan tiket seperti itu?

Rupanya tidak ada rute kereta peluru Wulumuqi langsung ke Hangzhou. Yang ada kereta lama. Kelas ekonomi. Yang warna hijau itu. Seperti yang selalu dinaiki Kim Jong-Un itu.

Bayangan saya: saya akan naik kereta peluru, di first class –yang kursinya seperti di pesawat kelas satu.

Bayangan saya yang lain: saya bisa mandi di situ. Bisa tidur dengan selimut tebal.

Saya pernah naik kereta peluru di kelas satu. Dua tahun lalu. Dari Hangzhou ke Shanghai. Saya masih ingat kecepatannya dan kenyamananya.

Dari Wulumuqi memang ada jadwal kereta peluru. Banyak. Tiap 15 menit. Ke banyak jurusan. Tapi, hanya saja, tidak ada yang jurusan langsung Hangzhou.

Padahal saya akan lebih senang seandainya naik kereta cepat meski rutenya putus-putus. Misal: ikut jurusan Lanzhou dulu. Lalu beli tiket lagi sambungnya: jurusan Chongqing. Sambung lagi jurusan Hangzhou.

Untuk apa disesali.

Ya sudah.

Salah saya.

Tidak ngotot membeli tiket sendiri.

Saya pun dapat pelajaran berharga: Tiongkok ternyata tidak menghapus kereta lama. Meski sudah punya jenis kereta baru.

Saya pikir kereta ekonomi sudah dihilangkan. Sudah 10 tahun ini saya selalu naik kereta cepat. Saya lihat rakyat biasa pun sudah naik kereta peluru.

Memang jalur kereta cepat tidak ada yang menggunakan jalur kereta lama. Rel kereta cepat selalu dibangun baru, selalu eleveted (layang), lebih lurus, dan pakai listrik.

Untuk membuat lebih lurus itulah gunung-gunung diterobos terowongan. Laut, sungai dan rawa diatasi dengan jembatan.

Baru di Xinjiang ini saya tahu: rel kereta cepatnya tidak sama: tidak eleveted. Mungkin karena di Xinjiang toh hanya melewati gurun. Kalau sesekali ada persilangan, jalan mobilnya yang layang. Lebih murah.

Dengan hati yang disenang-senangkan kami pun naik kereta hijau itu. Saya pun tidak berusaha kaget melihat kondisi di dalamnya.

Saya pernah naik kereta seperti itu hampir 20 tahun yang lalu. Dari Wuhan ke Nanchang. Juga dengan Robert Lai.

Sebelum naik ke kereta pun saya sudah siap mental.

“Masih persis sama dengan 20 tahun lalu,” ujar Robert saat masuk ke gerbong.

“Sebenarnya tidak juga. Sudah sedikit lebih bersih,” kata saya. “Dan penumpangnya tidak ada lagi yang kumuh,” tambah saya.

Robert juga membisiki saya: jangan-jangan penumpang di dekat kita nanti berbau dan kumuh.

Ia sangat khawatir saya ketularan penyakit.

Ia pun mengeluarkan masker. Memaksa saya mengenakannya.

Sampai di dalam gerbong saya sudah sepenuhnya move on. Kereta ini mirip almarhum Bima. Jurusan Surabaya-Jakarta. Yang satu kamar berisi empat tempat tidur: dua di bawah, dua di atas.

Robert pilih di bawah. Wajahnya nanar. Ia harap-haral cemas. Ia menunggu siapa penumpang yang akan satu kamar dengan kami.

Penumpang itu pun datang. Lumayan. Laki-laki. Setengah baya. Ia pilih yang di bawah.

Lalu masuk lagi seorang wanita. Juga setengah baya. Dapat nomor di atas –di seberang saya.

Saya pun menyapa mereka. Mereka terbengong-bengong melihat saya berbahasa Mandarin.

Mereka ternyata guru SMA. Asalnya Henan –28 jam perjalanan. Kami lega dapat teman sekamar seorang guru. Bisa banyak bertanya soal pendidikan di Xinjiang.

Hari itu mereka akan pulang kampung. Mengunjungi keluarga. Bekalnya banyak: kacang rebus, jagung rebus, buah-buah Xinjiang, beberapa kantong roti naan yang besar, dan banyak lagi. Cukup untuk makan dua hari di kereta.

Mereka seperti heran: kok kami tidak berbekal makanan. Padahal perjalanan kami tiga hari.

Mereka tidak tahu bahwa kami membawa banyak anggur Xinjiang. Yang ada di DI’s Way (Buah Sembrono) itu.

Tidak henti-hentinya mereka menawari kami makanan yang mereka bawa. Sampai setengah memaksa.

Kami memilih keluar kamar. Menuju gerbong restorasi. Hampir sepanjang hari kami ngobrol di situ. Makan di situ. Minum di situ. Menikmati pemandangan tunggal: gurun.

Saya bisa merasakan kebosanan di hati Robert.

Kasihan.

Apalagi kalau kereta ekonomi ini lagi sering berhenti di satu stasiun kecil. Untuk memberi kesempatan kereta cepat mendahului kami.

Setiap kali kereta cepat lewat kelihatan Robert menelan ludahnya. Hatinya seolah mengatakan, “Mestinya kita naik yang itu”. Tapi ucapan seperti itu tak terkatakan.

“Mestinya kita naik yang itu ya,” kata saya sambil melihat kereta cepat yang seperti kilat lewat.

“Hahahaha…very funny,” teriak Robert. “Enjoy….”, tambahnya.

Begitu sering kereta ekonomi ini berhenti.

Setiap kali kereta cepat lewat hati Robert seperti teriris. Banyak sekali kereta cepat melewati kami. Hati Ribert pun teriris-iris.

Saya lantas memikirkan rencana rahasia. Untuk menyenangkannya. Semoga ada ide.

Malam itu saya bisa tidur nyenyak. Bangun-bangun kepala saya pening. Terlalu dingin di arah kepala. Itu karena posisi kepala saya dekat jendela kaca. Udara di luar lagi dingin sekali.

Dari cahaya fajar saya melihat salju di kanan kiri kereta. Padahal ini baru pertengahan Oktober 2019.

Saya lihat Robert masih tidur. Demikian juga dua penumpang di tempat tidur seberang. Posisi kepala mereka sama: kebalikan dari saya. Ternyata saya salah memposisikan kepala di dekat jendela.

Ufuk timur kian terang. Salju kian jelas. Gunung-gunung bersalju semua. Demikian juga lembahnya. Pinggir danaunya. Tepi sungainya.

Tidak terlihat lagi gurun. Kami sudah 20 jam di kereta.

Ternyata ini sudah wilayah Provinsi Gansu. Baru saja meninggalkan Provinsi Xinjiang.

Saya pun berimajinasi: sebentar lagi tiba di stasiun Lanzhou. Ibu kota Gansu.

“Jam berapa kereta tiba di stasiun Lanzhou?” tanya saya pada petugas kereta.

“Jam 10. Empat jam lagi,” jawabnya.

Ampun. Ternyata masih empat jam lagi.

“Untuk apa bertanya jam berapa sampai Lanzhou?,” tanya Robert. “Toh kita masih harus di kereta ini 36 jam lagi,” tambahnya.

Saya tetap merahasiakan rencana untuk menyenangkannya itu.

(Dahlan Iskan)dah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *