Hergun Punya Saran yang Mantap Soal Pengawasan Bank

Heri Gunawan Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI
Heri Gunawan Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR RI

RADARSUKABUMI.com – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan rencana mengembalikan kewenangan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Bank Indonesia (BI), bisa saja dilakukan oleh pemerintah lewat amendemen Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang BI.

“Soal mengembalikan kewenangan pengawasan bank ke BI, ini sebenarnya pernah saya kemukakan awal Mei lalu. Kenapa? Karena memang saya melihat banyak kelemahan di OJK belakangan ini,” ucap Heri Gunawan, Sabtu (4/7).

Bacaan Lainnya

Politisi yang karib disapa Hergun menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh saja mengembalikan kewenangan pengawasan bank yang dilakukan OJK sejak 2013, sebagaimana amanat UU Nomor 21/2011 tentang OJK.

“Namun, saya menyarankan hal itu dilakukan setelah melakukan berbagai kajian yang komprehensif. Sebab, tugas BI tentu akan lebih berat lagi. Tidak sekadar menjaga nilai tukar dan inflasi,” jelasnya.

Legislator Gerindra ini menduga rencana mengembalikan kewenangan pengawasan bank ke BI, terkait dengan minimnya realisasi program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) di masa pandemi Covid-19, yang erat kaitannya dengan peran OJK dalam hal pengaturan dan pengawasan industri keuangan.

“Kemudian, kita harus tahu dulu apa tujuan pengembalian pengawasan bank yang sekarang ada di OJK ke BI. Bisa saja agar BI bisa bermain di pasar primer, atau mungkin cetak duit kalau fiskal sudah mentok,” sambung wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini.

Kemudian, katanya, rencana ini juga erat kaitannya dengan amendemen UU Bank Indonesia yang telah diajukan pemerintah melalui Menkumham ke DPR, yang telah ditetapkan masuk prolegnas prioritas 2020. “Bisa saja pengembalian pengawasan bank ke BI masuk dalam amendemen ini,” tukas politikus asal Sukabumi ini.

Pada intinya, kata Hergun, sekarang ini peran BI, OJK dan LPS untuk penanganan perbankan akibat permasalahan terkini atas isu likuiditas menjadi perhatian meski kebijakan relaksasi perbankan sudah diberikan.

Isu likuiditas tersebut dipandang sebagai akibat dari beberapa hal. Pertama. perbankan tidak ‘real’ dalam data program restrukturisasi kreditnya karena mencatatkan juga kredit bermasalah dalam kolektibilitas lancar.
“Kredit bermasalah perbankan ini menjadi berkepanjangan sehingga butuh injeksi likuiditas dan injeksi modal baru dari pemegang saham namun belum dapat dilakukan,” jelasnya.

Kedua, BI sebagai lender of last resort punya tahapan Pasar Uang Antar Bank (PUAB-Overnight), Term Repo dan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP). Kebijakan penyaluran likuiditas BI ini diharapkan berjalan namun mekanisme PLJP dari BI dirasakan terlalu sulit realisasinya dan diminta untuk dilonggarkan.

Sementara itu, persyaratan PLJP BI perlu koordinasi kuat dengan OJK terkait data solvabilitas dan kemampuan pembayaran kembali dari masing-masing perbankan.

“Isu likuiditas ini juga butuh perhatian lebih dari OJK dan LPS agar penyelesaian kebutuhan dana bank tidak berlarut-larut, dan bank bermasalah sebaiknya disegerakan ke LPS. Komitmen waktu dan ketegasan regulator perbankan menjadi kunci penting,” tandasnya.(fat/izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *