Ekspedisi Gerakan Anak Negeri (GAN) Tana Toraja (3)

Tanah-Toraja
CEO Radar Bogor Grup (RBG), Hazairin Sitepu bersama para General Manager (GM) dan tim Gerakan Anak Negeri (GAN) berfoto bersama di rumah tongkonan yang merupakan rumah adat dan salah satu ikon bagi suku Toraja.

Tahta Tertinggi Kematian Setelah Pemotongan 24 Kerbau

Ekspedisi Tana Toraja Sulawesi Selatan. Salah satu tujuan utama perjalanan Tim Gerakan Anak Negeri (GAN) ke-6 mengeksplore kekayaan budaya yang unik. Perpaduan antara wisata budaya, alam dan sejarah.

NIHRAWATI AS, Sulsel

Bacaan Lainnya

Suguhan rumah tongkonan tersaji di depan mata begitu memasuki wilayah Tana Toraja. Itulah salah satu ciri khas dari suku asli Toraja. Di sepanjang jalan dari Maros sampai Enrekang, banyak ditemui rumah panggung dengan ciri khas masing-masing. Hanya saja keberadaan rumah panggung ini tidak menyolok. Berbeda dengan rumah adat Toraja.

Atap rumah Tongkonan yang tinggi dengan ukiran bermotif pada sekujur rumah dan atap ditempatkan di depan rumah dengan warna merah dan hitam, sangat menarik perhatian. Rumah adat ini salah satu ikon bagi suku Toraja. Tongkonan juga dihias dengan tanduk kerbau. Suku Toraja melambangkan kerbau sebagai strata kehidupan mereka. Jumkah kerbau yang digantung melambangkan kasta penghuninya.

Untuk melihat tongkonan, Tim GAN pun mengunjungi Ke’te Kesu’. Desa di Kabupaten Toraja Utara ini terdapat deretan Tongkonan dan lumbung padi. Ke’te Kesu’ terletak di Kecamatan Kesu’ ini merupakan kompleks perkampungan adat tua di Toraja yang memiliki sejumlah rumah tradisional lengkap dengan lumbung padi berukir atau diberi nama Alang Sura’.

Tongkonan yang berada di Ke’Te Kesu’ berasal dari leluhur Puang Ri Kesu’. Adalah Tongkonan Layuk Tua di Toraja yang memiliki peran dan fungsi sebagai sumber pemerintahan dan kekuasaan adat di wilayahnya pada masa lalu. Terdapat pula Tongkonan yang merupakan tempat peristirahatan raja, yang juga berfungsi sebagai istana untuk kerajaan.

Saat ini, sudah berubah fungsi sebagai museum untuk menyimpan semua benda bersejarah yang ditinggalkan oleh Kerajaan Sangalla. Sayangnya saat Tim GAN tiba, hari sudah sore dan tidak ada Tim Pemandu. Sehingga tidak bisa memasuki Tongkonan.

Di depan Tongkonan terdapat tanduk kerbau yang digantung. Di deretan ketiga terdapat kepala kerbau berwarna putih. Nah, di Toraja sendiri ada kerbau belang hitam putih dinamai Tedong Bonga dan Tedong Saleko. Harganya selangit, lebih mahal dari tedong (kerbau) hitam. Konon, tedong belang hanya bisa hidup di Toraja.

Kerbau albino ini harganya bisa mencapai Rp1 miliar. Tidak heran jika Tedong Bonga disebut raja di Tana Toraja. Hewan berkaki empat ini menjadi nilai ekonomis yang tinggi bagi masyarakat Toraja. Semakin cantik, maka harganya pun semakin mahal.

Kerbau-kerbau dengan harga fantastis ini dikurbankan dalam ritual Rambu Solo’ atau upacara kematian. Sayangnya saat Tim GAN berkunjung tidak ada upacara kematian. “Biasanya di bulan Juni, Juli ada uapacara Rambu’Solo,” ujar Dg Nakku, Sopir yang biasa mengantar turis ke Tana Toraja.

Ke’te Kesu’ ini menjadi favorit bagi waisatawan untuk berfoto. Obyek wisata menarik lainnya yang ada di Ke’Te Kesu’ adalah kompleks pemakaman yang telah berusia ratusan tahun yang di dalamnya terdapat kuburan gantung, kuburan dalam gua alam atau dinamakan Liang Lo’ko. Juga terdapat kuburan modern atau patahe dan peti mati tradisonal yang dihiasi dengan ukiran (erong).

Erong bentuk kepala babi diperuntukkan untuk jenazah perempuan, dan kepala kerbau untuk jenazah laki-laki. Itulah bentuk Erong pertama dan berkembang bentuk-bentuk lainnya. Ada banyak tulang dan tengkorak dalam erong. Juga terdapat patung atau disebut tau-tau dari jenazah yang dikuburkan di pemakaman gantung tersebut.

Sebelum ke Ke’Te Kesu’ Tim GAN terlebih dahulu menelusuri Londa. Goa Londa jadi tempat penyimpanan jenazah yang khusus bagi keturunan langsung leluhur Toraja. Goa ini terletak di perbatasan antara Makale dan Rantepao, tepatnya di desa Sandan Uai.

Saat memasuki area Goa Londa, disambut dengan kerbau Tedong Saleko, kerbau dengan kasta tertinggi. Tim pemandu dengan lampu petromax sudah menanti di tangga dengan tulisan besar berwarna merah Londa.

Puluhan anak tangga dijajaki. Terlihat tebing tinggi dengan hamparan hijau yang cantik, merupakan tempat pemakaman jenazah. Pemakaman dilakukan berdasarkan kasta. Anggota keluarga dengan kasta tertinggi akan menempati paling atas dari tebing.

Terdapat patung kayu berbentuk manusia atau yang disebut Tau-tau. Itu adalah simbol orang yang telah meninggal. Hanya dari kalangan bangsawan yang dibuatkan Tau-tau. “Untuk bisa dibuatkan Tau-tau ini harus melaksanakan upacara Rambu Solo’ dengan minimal memotong 24 kerbau yang harga satu kerbaunya bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta. Bahkan bisa milyaran kalau tedong Saleko atau Tedong Bonga. Jika sudah dibuatkan Tau-tau sudah sempurna upacara kematiannya,” terang Andre, pemandu yang mengantar Tim GAN.

Di depan Goa Londa upacara kematian belum lama terjadi. Menurut Andre, ada dua yang baru dimakamkan, dari kasta terendah dan kasta tertinggi. Meski berada di goa yang dipenuhi tengkorak, namun tidak ada perasaan merinding atau takut. Menyusuri goa dengan penerangan yang dibawa oleh tim pemandu. Untungnya sebelum berangkat pun Tim GAN sudah bersiap dengan headlamp, membantu menyinari jalan yang sempit dan licin dalam goa, dengan peti-peti mati dan tengkorak di sela-sela goa. Karena berada dalam goa maka hawa panas pun terasa.

Di dalam goa, Andre guide yang memandu menceritakan tentang sepasang tengkorak yang dikenal sebagai Romeo dan Juliet-nya Toraja. Jadi ceritanya mereka sepasang kekasih yang ternyata merupakan sepupu jauh, sehingga tidak direstui oleh keluarga mereka. Karena itu, akhirnya mereka memilih untuk bunuh diri bersama.

Setelah tengkorak sepasang itu terdapat goa yang rendah bersambung dengan goa yang berada di sebelahnya. Bagi yang bertumbuh subur tidak disarankan karena harus merayap. Untuk mencapai mulut goa yang satu lagi, bisa keluar dulu kemudian masuk melalui pintu depan. Nah di goa inilah bisa berfoto dengan tengkorak-tengkorak lebih dekat. Mayat yang belum lama dikuburkan berada di goa ini.

Tanah-TorajaSesuai dengan penjelasannya, itu jenazah dengan kasta terendah karena ditempatkan pula di bagian bawah tebing. “Jenazah biasanya dikuburkan dengan harta bendanya. Itu salah satu alasan pula kenapa yang bangsawan atau kasta tinggi juga ditempatkan di bagian atas supaya harta yang dibawa bersama aman,” terang Andre.

Tebing tinggi itu jika dikejauhan di tangga keluar Londa akan terlihat ada peti mati tergantung. Tidak terbayang cara membawa peti mati itu. Sayangnya obyek wisata yang sudah ditetapkan UNESCO sejak tahun 2004 sebagai salah satu warisan budaya dunia itu tidak dikelola maksimal.

Tim pemandu hanya dijumpai di Londa. Itupun tidak memakai baju khusus mencirikan sebagai tour guide. Di Kete’Kesu tidak ada pemandu. Infomasi tentang sejarah rumah Tongkonan dan Kuburan gantung hanya didapatkan dari prasasti yang berada di samping loket tiket. Itupun tidak terawat dengan baik.

Tiket masuk semua tempat wisata di Toraja Utara memang seragam. Rp15 untuk wisatawan domestik dan Rp30 ribu untuk wisatawan mancanegara, menjadikan siapapun dapat masuk ke lokasi tersebut. Bahkan bisa free. Tidak ada penjagaan ketat.

Hal lain yang perlu direkomendasikan ketika berwisata di Tana Toraja, tidak perlu ragu untuk membeli oleh-oleh. Di Londa ada beberapa kios-kios penjual cenderamata. Harganya ramah di kantong dengan kualitas yang lumayan bagus. Pun di Ke’te Kesu’, di belakang rumah Tongkonan, menuju Kuburan Gantung di sepanjang jalan kiri kanan terdapat kios-kios cenderamata. Juga dengan harga yang murah. (**)

Pos terkait