Zaytun Simanullang

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan/Net

Ia wartawan Radar Indramayu. Namanya: Adun Sastra. Alumni Unwir: Universitas Wiralodra Indramayu. Wiralodra adalah bupati pertama Indramayu, sebelum kakek Anda lahir.

Lewat HP wartawan Adun, Syech Panji minta bicara dengan saya. Maka langsung saja saya tanya soal siapa orang Kristen itu. Yang ketika salat Idul Fitri ia duduk di kursi di saf paling depan.

“Jadi, saya kenal orang itu?” tanya saya.

“Ya kenallah…. Ia juga wartawan,” ujar Syech Panji.

“Wartawan Indramayu?” tanya saya lagi.

“Wartawan Jakarta. Saya kenal baik. Sejak lama sekali,” jawabnya.

“Siapa ya namanya?” tanya saya penasaran.

“Robin Simanullang…,” jawabnya.

“Oh…Ch Robin Simanullah”.

Menjelang Idul Fitri kemarin Syech Panji memang menghubungi wartawan itu. Robin ditawari apakah mau berlebaran di Al-Zaytun. Agar terjadi saling pemahaman yang baik antar umat beragama.

Syech Panji memang selalu membawa prinsip toleransi dalam beragama. Tidak ada maksud lain.

Maka ributlah media sosial.

Berhari-hari.

Berminggu.

Apalagi ada pula jamaah wanita yang dalam salat itu berdiri di saf depan. Itu dianggap menyeleweng dari praktik keagamaan. Kok wanita tidak berdiri di belakang laki-laki.

Siapa wanita tersebut?

Itu tak lain adalah istri Syech Panji sendiri.


Menurut Panji Gumilang, jemaah perempuan yang ada di shaf depan saat salat Idul Fitri adalah perempuan yang dia muliakan-Foto/Tangkapan Layar/Instagram-

Saya pun ngobrol panjang dengan Syech Panji. Lewat telepon genggam. Ternyata Syech Panji itu orang Madura, hanya saja lahir di Gresik. Tepatnya di desa Dukun, Kecamatan Sidayu. Leluhurnya yang dari Sampang.

“Waktu saya lahir, Dukun itu masuk Kabupaten Surabaya. Gresik itu masih kecamatan,” kenangnya.

Ayah Syech Panji adalah kepala desa di Dukun. Begitu tamat sekolah rakyat (SD), ayahnya minta Panji melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren Peterongan, Jombang.

Ia pun diajak ke sana. Kebetulan pamannya di pondok Peterongan, sebelah timur Jombang.

“Sama-sama di pondok saya akan pilih di Maskumambang saja. Sama saja. Lebih dekat rumah,” katanya mengingat waktu kecil.

Lalu Panji diajak pula melihat pondok di Kaliwungu, sebelah barat Semarang. Ada paman yang lain di pondok Kaliwungu.

Akhirnya Panji memilih sekolah di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Yakni pondok yang siswanya harus bisa bahasa Arab dan bahasa Inggris –yang masih langka di zaman itu.

Santri pondok Gontor juga campur antara yang NU dan Muhammadiyah.

Dari Gontor, Panji meneruskan kuliah di IAIN Syarief Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia mengambil jurusan sulit: Adab. Yakni sastra Arab dan Islam. IAIN Ciputat saat itu diakui yang paling maju kajian Islamnya. Tokoh-tokoh pemikir Islam lahir dari sana. Termasuk pembaharu pemikiran Islam, Dr Nurcholish Madjid.

Di Ciputat Panji menjadi aktivis mahasiswa. Ia masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia pernah menjadi pengurus cabang Ciputat di saat Nurcholish Madjid menjadi ketua umum PB HMI.

“Saya ikut menyuarakan agar Cak Nur dipilih kembali untuk periode kedua,” ujar Panji. Yakni ketika HMI mengadakan muktamar di Malang.

Setamat IAIN, Panji menjadi pengajar di Matla’ul Anwar. Yakni pesantren yang dekat dengan Golkar.

Zaman itu ada sayap pendidikan Islam di Golkar. Namanya GUPPI –Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam.

Banyak sekali pesantren yang masuk GUPPI, termasuk jaringan pesantren keluarga saya di Magetan. Saya masih kelas 3 Aliyah saat itu. Sering diajak apel pemenangan Golkar.

Pesantren Peterongan dengan KH Musta’in Romli juga masuk GUPPI. Demikian juga pesantrennya KH Thohir Wijaya Blitar.

Pos terkait