Warisan UNESCO

Dahlan iskan
Dahlan iskan

Oleh: Dahlan Iskan

MADIUN sudah punya ”Makkah” dan ”Singapura”. Warisan UNESCO. Di pusat kotanya. Turis lokal berbondong ke sana. Kota Madiun disulap menjadi sangat cantik. Hanya dalam satu periode jabatan wali kota.

Pacitan segera punya museum kepresidenan: Museum SBY-ANI. Megah. Sudah selesai dibangun. Tinggal diresmikan: bulan Juli. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membangunnya. Antara lain untuk almarhum istrinya: Ani Yudhoyono.

Bacaan Lainnya

Ponorogo terjepit di tengahnya. Jauh dari laut. Jauh dari jaringan jalan tol. Untungnya Ponorogo punya yang satu ini: Sugiri Sancoko. Bupati saat ini.

Ia lahir di Ponorogo. Di desa Sampung. Desa ini terkenal: karena miskinnya. Sugiri tumbuh di situ. Di tengah kemiskinan.

Pergilah ke Ponorogo tanggal 1 Suro minggu depan. Itulah penanda tahun baru Jawa. Banyak acara di sana.

Salah satunya: slametan untuk dimulainya pembangunan proyek pariwisata raksasa di Sampung. Akan ada patung tertinggi di Indonesia. Mengalahkan tingginya patung Garuda Wisnu Kencana di Bali.

Desa Sampung yang miskin akan diubah Sugiri menjadi pusat wisata kelas nasional. Anda baiknya usul nama lain. Jangan nama yang sekarang sedang dipromosikan: Museum Peradaban. Terlalu muluk. Kurang pop. Kurang ”marketing”. Saya juga akan usul nama yang lebih nendang. Belum ketemu.

Intinya: Sampung punya gunung gamping. Gamping adalah kapur. Yang kalau dibakar bisa untuk bahan bangunan.

Gamping itu jadi sumber penghidupan rakyat setempat. Mereka menggerus gunung itu. Debu putihnya terbang ke mana-mana. Termasuk ke rambut dan ke badan mereka yang telanjang dada. Mereka pun seperti Hanoman yang tidak sakti.

Gamping itu dipikul. Diangkut. Dijual. Hampir tanpa harga.

Gamping tidak mengubah taraf hidup masyarakat. Gamping hanya melestarikan kemiskinan.

Sugiri menghayati semua itu.

Ia menemukan cara baru untuk memanfaatkan gunung gamping itu ke level kehidupan masyarakat yang lebih tinggi.

Gunung gamping itu akan dibentuk bentuk menjadi berbagai fungsi. Salah satunya menjadi patung reog Ponorogo. Yang terbesar dan tertinggi.

Garuda Wisnu pun seperti itu. Gunung di Nusa Dua itu dibelah-belah. Jadi tebing-tebing tinggi yang masif. ”Ruang” di antara tebing itu bisa untuk apa saja. Termasuk untuk jamuan makan malam yang mewah dan elegan. Seperti yang Anda masih akan selalu ingat: para kepala pemerintahan negara-negara kaya anggota G-20 dijamu makan malam oleh Presiden Jokowi di situ.

Dulu gunung gersang di Nusa Dua itu juga tidak ada harganya. Kreativitas manusia bisa mengubahnya jadi salah satu pusat kegiatan G-20 yang prestisius.

Pun di Arizona. Apalagi di Nevada. Kekuatan manusia bisa mengubah padang tandus Nevada jadi Las Vegas yang Anda puja sampai sekarang.

Di Tiongkok juga. Di Dubai pun serupa. Puncaknya: di Arab Saudi. Dengan proyek kota baru Neom-nya.

Maka saya memuji pemikiran Sugiri.

Saya memang orang Magetan. Atau orang Samarinda. Tapi sejak kecil saya sudah akrab dengan budaya Ponorogo. Hampir setiap kali ada kawinan di desa sekitar saya, ada reog Ponorogo. Lengkap dengan jaranannya dan kuda tejinya.

Saya kurang kritis ketika kecil: tidak pernah bertanya apa itu kuda teji dan mengapa disebut kuda teji.

Ketika remaja saya sibuk dengan organisasi pergerakan.

Ketika dewasa sibuk dengan bisnis.

Baru sekarang, ketika menulis Disway ini, saya ingat masa kecil itu. Lalu ingat kuda teji. Yakni kuda yang ikut mengiringi pengantin. Bagian dari atraksi perkawinan. Jalannya kuda itu sangat lucu: seperti lari-lari kecil yang sangat centil.

Pun ketika bertemu Bupati Ponorogo saat ini, Sugiri, saya lupa menanyakannya: apa itu kuda teji dan apakah sekarang masih ada. Atau kuda teji itu justru hanya ada di daerah saya saja.

Lain kali saya tidak akan lupa menanyakan itu kepada beliau kalau bertemu beliau lagi. Atau tetap lupa.

Tentu saya sering ke Ponorogo. Adiknya bapak saya tinggal di Desa Betri, kecamatan Siman. Beliau jadi kiai kampung di Betri. Masjidnya lebih besar dari masjid di kampung saya. Tiap Lebaran, di hari ketiga, saya diajak ke sana: naik kereta api dari Stasiun Sleko di Madiun. Dari desa saya ke Sleko jalan kaki. Satu setengah jam.

Kereta melaju ke selatan. Ke Ponorogo. Masih ke selatan lagi. Turun di Stasiun Siman. Lalu naik andong ke Betri.

Saya pun punya kenakalan anak-anak. Ketika ”minggat” dari rumah, tujuan minggat saya ke Betri. Tanpa punya uang. Saya nunut kereta itu dari dari Stasiun Sleko. Tidak akan dipungut bayaran: masih anak-anak.

Geger. Saya hilang. Dicari ke mana-mana. Sampai ada acara menabuh tampah malam-malam. Keliling desa. Siapa tahu saya disembunyikan oleh hantu. Dengan konvoi memukul tampah itu sang hantu takut. Lalu melepaskan saya.

Anak sekarang tidak bisa minggat seperti itu: ada HP. Kini, begitu tiba di Betri pasti keberadaan saya sudah dibocorkan ke kampung saya lewat WA.

Desa yang juga sering saya datangi adalah Bogem. Di sebelah barat kota. Di jalur jalan antara Ponorogo-Wonogiri. Di situlah leluhur saya. Yang juga terkait dengan leluhur yang lebih atas lagi di Tegalsari, selatan kota Ponorogo.

Walhasil saya keturunan Ponorogo juga. Maka setiap ada perkembangan di Ponorogo saya kepo sekali. Maka saya selalu mendengar opini masyarakat di Ponorogo tentang setiap bupati baru. Pun ketika saya sibuk jadi wartawan, jadi pengusaha, jadi dirut PLN, dan jadi menteri. Suatu kali saya dengar ”bupatinya bagus”. Lain kali mendengar ”bupati kita payah”. Info saling berganti.

Bagaimana dengan bupati baru tahun 2019?

“Istimewa,” kata mereka. Tapi saya belum tahu seberapa istimewa. Saya baru tahu ketika ke Ponorogo kapan itu. Lalu sempat bertemu langsung dengan sang Bupati tahun lalu. Memang istimewa.

Sugiri bukan seperti bupati. Ia seperti orang Ponorogo –hahaha ia memang orang Ponorogo. Tidak ada sikap ningrat. Tidak ada bicara yang sok pejabat. Jauh dari feodal.


Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (kanan) bersama CEO Harian Disway Tomy Gutomo di ruang kerjanya di lantai 2 Gedung Pemkab Ponorogo, 27 Juni 2023. -Foto: Doan Widhiandono-

Sugiri lebih mirip Warok Ponorogo. Warok masa kini: pakaiannya gaya warok tapi pemikirannya masa depan. Ia berpijak pada budaya masa lalu tapi ingin terbang ke masa jauh di depan.

Masuklah ke ”istana” bupati Ponorogo. Kediaman resmi bupati biasanya diwibawa-wibawakan. Harus bagus. Hebat. Kalau perlu bercorak ningrat.

Kediaman bupati Ponorogo sekarang ini ia rombak habis. Ruang kerja bupati ia jadikan angkringan. Jadi warung. Jual makanan dan minuman beneran.

Sugiri juga lebih sering pakai pakaian Warok Ponorogo daripada mengenakan seragam dinas bupati.

Tiga tahun ini Sugiri uring-uringan: mengapa Reog Ponorogo belum juga berhasil diusulkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.

Mungkin tunggu diusulkan Malaysia. (Dahlan Iskan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *