UMK Naik, Para Buruh Dibayangi PHK

Raden Asri Febriyanti
(Mahasiswa Universitas Nusa Putra, Prodi Manajemen)

Upah Minimum Kabupaten (UMK) adalah upah minimum yang berlaku di wilayah kabupaten/kota. Penetapan UMK didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Bacaan Lainnya

Komponen KHL digunakan sebagai dasar penentuan UMK, dimana dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil telah menyetujui rekomendasi UMK tahun 2020. UMK di Jabar tahun ini naik sekitar 8,51 % merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kenaikan itu telah sesuai dengan rekomendasi bupati dan wali kota se-Jabar yang tertuang dalam Surat Edaran bernomor 561/75/Yanbangsos, terkait pelaksanaan UMK di Jabar tahun 2020.

Keputusan Ridwan Kamil atau yang biasa disapa Kang Emil dengan menyetujui UMK 2020 tanpa penetapan gubernur namun hanya mengeluarkan surat edaran UMK, ditanggapi miring para buruh. Dirinya dinilai sebagai gubernur rasa Pengusaha. “Ada apa di balik semua ini?” tanya Presiden KSPI Said Iqbal disebuah wawancara. Hal ini membuat kalangan buruh jadi dongkol.

Menurut Said Iqbal, mengacu pada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, keputusan UMK seharusnya ditetapkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub), bukan hanya sekadar surat edaran.

Penetapan UMK untuk pekerja selalu jadi momen yang dilematis bagi Gubernur Jawa Barat. Inilah yang dialami Ridwan Kamil saat ini sampai-sampai harus menulis ‘surat cinta’ untuk buruh di akun sosial medianya.

Kang Emil menyoroti, dalam kurun lima tahun terakhir sudah ada 83 ribu orang telah kehilangan pekerjaan. Dalam surat cintanya itu ia juga menyampaikan sejak 2016-2019 gelombang penutupan pabrik, relokasi serta PHK juga terjadi. Ia miris melihatnya dan menggarisbawahi bahwa berlaku adil itu tidak mudah.

Kenaikan UMK tahun 2020 ini membuat UMK Kabupaten Karawang masih yang tertinggi yakni Rp 4.594.325 dan yang terkecil Kota Banjar Rp.1.831.885. Sedangkan rata-rata UMK di kabupaten/kota Jabar menjadi berkisar Rp.2.963.497.

Ridwan Kamil beralasan surat edaran dan surat penetapan secara prinsip sama saja, dengan hanya surat edaran, memang ada peluang negosiasi antara pengusaha dan buruh. Ia hanya ingin ada keadilan, terutama bagi industri padat karya.

Ia mengakui di Jabar sudah banyak pabrik tutup dan sebagian lagi pindah, karena upah yang tinggi. “Di Jawa Barat kan banyak pabrik sudah tutup, sebagian pindah. Nah ini untuk menjaga padat karya, garmen, dan lain-lain supaya tidak terkena ancaman PHK,” ungkap Kang Emil dalam kutipan disebuah berita.

Keluh Kesah Pengusaha : UMK Naik, Produktivitas Minim, Pabrik Tutup

Pengusaha curhat soal UMK yang terus naik, apalagi tidak dibarengi dengan kenaikan produktivitas. Kenaikan UMP/UMK 2020 yang mencapai 8,51% berdampak pada biaya produksi, dan bila tak diimbangi dengan produktivitas, pabrik akan merugi hingga tutup.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang Industri Johnny Darmawan angkat bicara. Ia mengatakan kenaikan upah harus dibarengi dengan kenaikan produktivitas. Johnny menilai tidak adil bila membandingkan upah dari segi nilai atau besaran tanpa melihat produktivitas kerja yang dihasilkan.

Ia mencontohkan Malaysia yang memiliki standard gaji lebih besar, tapi dari segi per produktivitas lebih tinggi Indonesia. “Perusahaan membayar itu tetap ada untung karena produktivitas. Kalau produktif nggak tercapai tapi gaji jalan terus, biaya cost naik terus lama-lama tutup,” kata mantan Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor (TAM).

Beberapa perusahaan di Jawa Barat terpaksa tutup karena beberapa faktor termasuk kenaikan UMK yang semakin tinggi. Belasan karyawan terpaksa di PHK, dan pengangguran semakin merajarela. Ribuan karyawan lainnya “DIBAYANGI” PHK membuat resah para buruh yang ada di Jawa Barat.

Polemik UMK Jabar yang Tinggi, Apa Solusinya?

Bukan keputusan yang mudah untuk menetapkan besaran upah. Jika upah tersebut terlalu kecil maka daya beli tidak terlalu terdongkrak. Namun jika terlalu tinggi tentu akan memberatkan. Penetapan upah minimum haruslah mempertimbangkan banyak faktor secara komprehensif seperti tingkat inflasi, kebutuhan hidup laik, pertumbuhan ekonomi serta yang tak kalah penting adalah produktivitas tenaga kerja.

Mari ambil contoh soal produktivitas tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sebenarnya pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih lebih rendah dibanding Filiphina dan Vietnam.

Salah satu kunci utama adalah di produktivitas. Ketika upah naik tanpa dibarengi dengan peningkatan produktivitas yang nyata, sama saja bohong. Ke depan produktitas tenaga kerja RI perlu jadi agenda prioritas untuk mengurai benang kusut sengkarut UMK yang jadi masalah menahun terutama di Jawa Barat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *