Setangkai Azhar

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

Tentu tokoh seperti Azhar juga tidak bisa menerima pandangan Barat mengenai tipologi Melayu yang negatif. Yang secara telak diwujudkan dalam satu judul buku: Slow Boat from Malay.

Menurut Azhar, itu cara penjajah untuk menyudutkan Melayu. ”Bagaimana bisa bodoh dan lamban ketika Melayu bisa menciptakan bahasa yang begitu hebat. Yang bisa menyatukan bangsa Indonesia. Dan bisa menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara,” kutip Rida dari pendapat Azhar.

Saya juga terus membaca artikel Prof Yusmar:

”Kami berdua bak tangkai bunga yang menjulur dari lelangit Riau. Angkatan awal, 80-an, yang membina kesadaran Melayu (Malay conscience) lewat dialog-dialog kebudayaan serantau dan dunia kepenulisan.

Antara saya dan Azhar, tersalin sejumlah peristiwa ’datang dan pergi’ demi Malay thought (Melayu secara pemikiran/pemikiran Melayu) di ranah gugah dan ranah senyap. Dan saling melengkapi”.

Yusmar dan Azhar memang bebatang setangkai. Mereka adalah tangan kanan dan kiri tubuh Melayu. Nama keduanya selalu diucap beriring pun sampai nun di semenanjung. Dan juga di Jakarta. ”Betawi punya apa. Riau punya dua tembok budaya Melayu yang kukuh,” ujar Ridwan Saidi suatu ketika.

Belakangan dua setangkai itu mencari jalan berbeda. Tanpa berseberangan. ”Biarlah engkau tetap di jalur riuh, saya akan menjalani jalan sepi ini,” tulis Yusmar. Yang terakhir itu lantas masuk ke dunia tasawuf yang suwung. Ia keluar dari gemuruh perjuangan adat Melayu. Tapi, tetap saja Selasa malam itu Yusmar merasa kehilangan salah satu lengannya.

”Selamat jalan sobat ’lengan ku’… menyatulah dalam kilau komet cahaya yang melintas di pucuk ruang sebelah sana…

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *