Ramadan Perjuangan

Handi-Salam
Handi-Salam

OLEH : Handi Salam

SETIAP memasuki bulan ramadan datang saya selalu merasakan hal yang berbeda. Dua tahun lalu dibayangi Covid-19, rutinitas yang dinantikan terganggu aturan. Kenyamanan berdoa berjamaah, berbagi tak bisa leluasa pada dua tahun terakhir.

Bacaan Lainnya

Selama dua tahun kegiatan yang menimbulkan kerumunan dilarang, bahkan untuk makan di atur. Banyak yang pergi dirindukan, beberapa jadi korban covid-19. Tahun ini bukan hanya Covid-19 saja, Ekonomi buruk dampak perang Ukraina mulai terasa, padahal jauh. Saya membanyangkan pengungsi yang melarikan diri dari tanah air mereka. Jelas mereka tidak memiliki tempat tinggal pasti.

Bukan hanya warga muslim Ukraina timur saja, tetapi dibeberapa belahan dunia lain sama. Saya melihat cuplikan video dari media sosial mereka berkumpul untuk shalat, meskipun kota mereka dibombardir, dan tidak diragukan lagi, mereka akan menjalankan Ramadan dengan cara apa pun yang mereka bisa. Saya merenungkan Muslim, orang-orang Uyghur di China yang mungkin bahkan tidak diizinkan untuk berpuasa, tetapi yang akan menjalankannya dengan cara terbaik yang mereka bisa. Saya merenungkan pengungsi Suriah, Somalia, Rohingya dari Myanmar, dan lainnya yang telah meninggalkan rumah mereka tetapi akan terus menjalankan Ramadan.

Beda dengan indonesia. Negaranya terbilang aman, namun ekonomi rakyatnya sedang kalang kabut. BBM Naik, Harga Sembako Naik, Minyak, Daging hingga harga Pulsapun harus naik. Imbas dari Perang ?. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Kita memang tidak bisa apa-apa, untuk mengubah kondisi mengerikan ini.

Di bulan Ramadan ini harusnya bisa mengalihkan fokus pada ibadah. Tapi saya tidak bisa, mungkin yang lain juga. Ada kewajiban pekerjaan yang harus diselesaikan demi menghidupi keluarga. Tapi di bulan Ramadan ini saya berusaha menyesuaikan diri untuk memenuhi kewajiban beribadah. Bangun, berdoa, membaca Quran lebih banyak, berdoa lebih banyak, makan dan kurangi tidur.

Sudah 1.400 kali Ramadan datang. Setiap tahunnya memberikan pelajaran yang berbeda. Tentunya, setiap bulan ramadan pergi saya selalu ingin menjadi lebih baik dari sebelumnya. Meski, tidak bisa mengubah, setidaknya kita bisa sedikit memberikan perubahan dengan berbagi dengan sesama yang kurang mampu.

Kemiskinan dan kekurangan terjadi tak hanya disini, Libanon, Irak dan Suriah ke Sudan dan Yaman merasakan. Harga-harga yang meroket dipengaruhi oleh konflik, pengungsian dan kemiskinan terus bertambah. Dua negara Ukraina dan Rusia penyumbang sepertiga dari ekspor gandum, diandalkan negara-negara Timur Tengah untuk memberi makan jutaan orang yang hidup dari roti bersubsidi dan mie murah, kini terhenti akibat perang.

Negara-negara timur tengah ekonominya krisis, mata uang jatuh. Di Jalur Gaza, hanya sedikit orang yang berbelanja pada hari Jumat di pasar yang biasanya penuh sesak pada waktu seperti awal Ramadan. Para pedagang disana mengatakan perang Rusia di Ukraina telah membuat harga meroket. Kondisi kehidupan 2,3 juta warga Palestina di wilayah pesisir yang miskin itu sulit, diperparah oleh blokade Israel-Mesir yang melumpuhkan sejak 2007.

Di negara Inggris, hampir 50 persen umat muslim Inggris hidup dalam kemiskinan. Itu laporan terbaru sky.com. Peningkatan kemiskinan disebabkan oleh pandemi. Sewa rumah membengkak, gaji bekerja hanya cukup tempat tinggal. Listik pun Naik.

Namun, mereka tidak khawatir. Umat muslim disana cenderung memberi lebih banyak untuk amal selama Ramadan, termasuk pembayaran zakat sumbangan wajib dari persentase kekayaan oleh mereka yang mampu untuk mereka yang membutuhkannya. Zakat yang dikelola dengan jujur jadi kunci mereka bisa bertahan melewati masa sulit. Mereka berjuang dan bersatu.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *