Memetik Api Semangat Perjuangan KH. Muhammad Kholilullah di Haul ke-26

KH. Muhammad Kholilullah
KH. Muhammad Kholilullah

Oleh : Agung Munajat S.Ip

Sebentar lagi kita semua akan merayakan haul yang ke 26 atau memperingati wafatnya salah satu ulama karismatik asli Sukabumi KH. Muhammad Kholilullah.

Acara ini rencananya akan didampingi oleh masyayikh Pondok Pesantren Sirojul Athfal yang tentunya sangat dinantikan oleh seluruh alumni mutaqaddimien (dari era tahun 1980-an) dan mutaakhirien (atau alumni generasi muda).

Kata masyayikh biasanya diartikan sebagai seorang guru besar yang lebih tua dan dihormati, sehingga perjalanan ini tidak hanya sekedar mengenang KH. Kholilullah disamping para ulama pesantren sebelumnya.

Haul tidak bisa dilihat hanya sebagai silaturahmi, tetapi jauh lebih dari itu, bagaimana agar hikmah, hikmah dan semangat juang yang terpatri dalam KH. Kholilullah dapat diakses oleh santri, generasi sekarang dan mendatang serta masyarakat luas.

Ia adalah ulama pejuang yang patut diteladani. KH. Kholilullah yang biasa disapa Apa Lili berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia dalam rangka melawan kolonial Belanda. Salah satunya, ikut berjuang bersama pasukan Hizbullah ketika perang Bojongkokosan pada 2 dan 9 Desember 1945.

Bayangkan jika tidak ada sosok visioner dan pemberani sepertinya, barangkali bangsa ini masih dalam penguasaan penjajah. Dan kita sebagai anak bangsa mungkin tidak pernah merasakan kemerdekaan seperti sekarang ini.

Di sinilah, nilai luhur yang tak boleh dilupakan dalam konteks haul, karena napak tilas sejarah harus terus dihidupkan agar kita tidak menjadi bangsa yang amnesia. Sebab begitu anak bangsa melupakan sejarah di situlah awal kehancuran sebuah negara.

”Untuk menghancurkan negara atau bangsa, hapus sejarahnya dan tulislah sejarah baru,” begitu kira-kira modus yang dilancarkan kaum orientalisme Barat.

Apa Lili, punya golok pamungkas kesayangan yang digunakan untuk memukul mundur Belanda. Golok inilah salah satu saksi bisu yang paling valid. ”Eta golok aya nu hideungan urut geutih walanda nu dikadeuk keur perang Bojongkokosan”. Dalam terjemahan bebasnya, artinya “golok itu ada karatan bekas darah orang Belanda yang dibacok.

Selain itu, Apa Lili merupakan ulama pribumi yang lengkap secara penguasaan ilmu. Ia bukan hanya berjuang lewat dakwah atau ucapan tetapi juga berani turun di medan perang secara fisik.

Ia adalah ulama intelektual yang menyiarkan Islam melalui pena, bukan seperti ulama kebanyakan yang sekedar menjalankan syariat atau ibadah secara rutin melainkan juga membedah, mendalami dan mengkaji Islam secara komprehensif.

Bukan sekedar hafal ayat dan hadis tapi mengerti betul makna serta asbabun nuzulnya. Sehingga ia memiliki perangkat dan pandangan yang luas untuk memaknai teks dalam konteksnya.

Fakta tersebut bisa ditelusuri lewat buku Biograi ”Buya KH. Dadun Sanusi” yang ditulis Lia Nuraliah, S.S, M.M pada 2005 lalu. Di sini disebutkan bahwa Apa Lili sempat menulis karya buku berjudul ”Isyarah Huruf Hijaiyah” yang dilahirkan dengan cara mengawinkan antara kajian akademis keislaman dan aspirasi spiritualitas atau ilham.

Buku fenomenal ini, rutin diajarkan kepada para santrinya, terutama saat pengajian asar yang digelar dari 1985 hingga 1986. Kemudian karya tersebut disusun ulang sehingga menjadi lebih sistematis oleh anaknya yang bernama KH. Muhammad Djihad Kholilullah.

Lalu, ada hal yang tidak banyak diketahui masyarakat luas kecuali oleh para santrinya atau lingkaran terdekatnya, yaitu ternyata Apa Lili memiliki karomah yang tidak main-main.

Bentuk karomahnya dialami langsung dua santrinya ketika beberapa kali pergi umrah dan haji di mana mereka mengaku bertemu Apa Lili sedang menunaikan shalat di Masjidil Haram, Makkah. Padahal setelah dikonfirmasi saat itu beliau ada di tanah air.

Sebagaimana diketahui, jika ada seseorang yang punya karomah tentu bukan orang sembarangan. Artinya dari segi ketaqwaan sudah lulus verifikasi di hadapan Allah. Sebab orang yang mendapatkan karomah pastinya orang yang bersih dan menjalankan taqwa secara paripurna.

Ada juga cerita salah satu santri yang terbangun dari tidur saat di pondokan haji karena perutnya diremas dan diminta segera bergegas shalat ke Masjidil Haram.

Kisah lainnya yang mencerminkan karomah Apa Lili terjadi di suatu hari di tahun 1985. Saat itu ada seorang ibu yang dijambret kalung emasnya saat menunggu angkot menuju pasar sekitar pukul 4 pagi.

Dasar sial, terduga pencuri itu tertangkap warga dan santri kemudian langsung diintrogasi. Kendati tertangkap basah tapi tak mengakui perbuatannya, pencuri itu membuat kesal warga dan terpaksa bogem mentah melayang tak henti-hentinya menjurus kepada sang pencuri itu ketika di Balai Desa Cimahi.

Tapi memang ada yang aneh dari pencuri ini sepertinya ia mengamalkan semacam ilmu kebal sehingga tidak merasakan sakit.

Tak kehabisan akal, entah bagaimana caranya pencuri tersebut berhasil melarikan diri lalu bersembunyi di plafon masjid Pesantren Sirojul Athfal. Memang dasar naasnya pencuri ini, Apa Lili keluar rumah setelah pengajian subuh.

Tanpa perlu berkata kasar, keras atau menggunakan nada ancaman, ia meminta pencuri menampakkan diri dari persembunyian.

Entah apa yang dibayangkan sang pencuri begitu berhadapan dengan Apa Lili, pencuri tersebut langsung bergetar dan detik itu juga mengaku bahwa ia telah mencuri dan karena panik menelan kalung curiannya.

Di situlah petanda kharismatiknya beliau, sebagaimana pernah suatu ketika seorang bupati mengundang berdialog pada 1986 terkait protes ulama tentang status haram judi porkas layaknya lotre atau undian berhadiah.

Itulah karomah dan sepak terjang Kyai Kholilullah yang jika diceritakan semuanya mungkin akan setebal buku akademis.

Lika-Liku Perjalanan Kyai Kholilullah

Dari cerita singkat di atas kita sudah bisa memahami betapa luarbiasanya Apa Lili. Lalu siapakah sesungguhnya KH. Muhammad Kholilullah? Demikian profil ringkasnya.

Kyai Kholilullah lahir di kampung Cikaroya, sebuah tempat yang berdekatan dengan kampung Cibaraja. Pada 1913, lahirlah pondok pesantren Sirojul Athfal.

Kyai Kholilullah adalah putra dari H. Turmudzi bin Enom dan Entah Saudah (Siti Saudah) binti Kamsol atau KH. Muhammad Asro.

Secara garis keturunan, Kyai Asro merupakan ayah dari KH. Muhammad Masthuro yang mendirikan Pondok Pesantren Al Masthuriyah. Sanadnya berasal dari nenek jalur ayahnya hingga ke Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon.

Di usia 6 tahun, sekitar 1919 guru pertama Apa Lili adalah ibu kandungnya sendiri (Siti Saudah) atau Kakak dari KH. Masthuro, yang mengajarkan membaca Al-Quran. Lalu Kyai Khoilullah sebagaimana anak pada umumnya memasuki sekolah rakyat negeri (SRN) di usia 7 tahun selama 4 tahun lamanya.

Kemudian beliau melanjutkan menjadi santri di sekolah Ahmadiyah (tidak ada hubungannya dengan salah satu aliran keagamaan) yang kini menjadi Al Masthuriyah pada usia 11 tahun yang didirikan Kyai Masthuro yang berada di kampung Tipar tepatnya pada 9 Rabiul Akhir 1338 Hijriah (1 Januari 1920).

Selain mengeyam pendidikan keislaman secara umum, Apa Lili dikenal sebagai tasyabah bi al-salafi al sholihin mina al-mutaqaddimin fi thobaqqaati a-ula yang langsung dibimbing langsung oleh Kyai Masthuro (pamannya dari garis ibu) selama 6 tahun.

Apa Lili belajar banyak dari Kyai Masthuro di antaranya, kitab-kitab tasawwuf seperti Al Hikam karangan Ibnu Athaillah dan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali yang dilakukan tiap Rabu selama kurang lebih 5 tahun di rumah Kyai Masthuto.

Secara kalkulasi Apa Lili di sini belajar selama 11 tahun dari pamannya sendiri. Tak cuma berhenti di situ segala jenis kitab kuning habis dilahap Kyai Kholilullah, bekiau mengaji kitab Shahih Bukhari Muslim dari Syekh bin Salim Al-Athos, terutama pasca shalat ashar, khususnya lagi di bulan ramadan.

Dengan demikian, Kyai Kholilullah, khatam menimba ilmu keislaman yang bersumber dari silsilah yang valid dan jelas. Setelah belajar banyak, pada 1930, Apa Lili mengajar di sekolah Ahmadiyah, pada 1941 di pesantren Sirojul Athfal dan pada 1950 di Sirojul Banat.

Ketiga lembaga inilah cikal bakal Pesantren Al Masthuriyah yang tak terpisahkan, Apa Lili mengajar disana selama 30 tahun.

Tidak berhenti sampai di situ, pada 1943 Kyai Kholilullah mendirikan majelis ta’lim yang dinamakan An Nur yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya banyak pondok pesantren.

Kemudian pada 1 Januari 1958 (atau 11 Jumadil Akhir 1377 H), berdirilah pondok pesantren Sirojul Athfal hasil tangan dingin Kyai Kholilullah yang terletak di kampung Cibaraja, yang diambil dari nama tempat ia menimba ilmu dan mengajar di pesantren besutan Kyai Masthuro.

Tak lama berselang berdirilah madrasah diniyah pada 1959, setahun setelahnya dan madrasah ibtidaiyah pada 1967 yang sayangnya hanya berjalan 18 tahun sedangkan pesantren Sirojul Athfal dan madrasah diniyah masih berlangsung hingga saat ini yang dipimpin dan diasuh oleh para cucu & cicit beliau serta menantunya.

Tapi kini Apa Lili telah tiada, yang perlu kita lakukan adalah memetik api keteladan beliau yang tidak akan lekang oleh waktu. Ia wafat tepat hari Jum’at.

Sebuah hari baik menurut Rasulullah. Tentu orang alim punya caranya sendiri dalam menyampaikan salam perpisahan. Sejatinya ia tidaklah pernah pergi tetapi hanya pulang. Ya, pulang ke pangkuan Tuhan, Allah sang pemilik segala sesuatu.

Tanpa ingin menyisakan kesedihan bagi para anak-anak dan para santrinya. Ia menggunakan metafor atau isyarat untuk berpamitan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia berkata kepada putra nomor empatnya, Kyai Muhammad Djihad Kholilullah.

Apa hayang balik, pang neangankeun mobil,” (Apa ingin pulang, carikan mobil), kata Apa Lili.
Mungkin bingung harus menjawab apa, selain menanggapi secara datar. ”muhun, dipilarian mobilna” (Iya, sedang dicarikan mobilnya), jawab Kyai Djihad.

Dengan keadaan tenang, akhirnya Kyai Kholilullah berpulang ke rahmatullah tepat hari Jum’at pada tahun 1997 persis adzan tanda shalat Jum’at berkumandang. Kebetulan saat itu Ustadz Babas dapat giliran bertugas sebagai khatib.

Kyai Kholilullah, disemayamkan di samping masjid itu, yakni masjid jami’ An Nur, saat ini makam istrinya, para anaknya (Kyai Badrun Munir dan Kyai Djihad) disamping beliau.

Apa Lili tercatat meninggalkan lima orang anak dari istrinya Hj. Nurkholillah binti H. Hanafi yang biasa disapa Mak Deudeuh. Anak-anaknya yaitu Oop Burhanuddin (wafat di usia 4 tahun), Nasibul Aufar (wafat di usia 5 tahun), Kyai Badrun Munir (wafat di usia 63 tahun pada 2006), Kyai Djihad (wafat di usia 69 tahun pada 2014) dan Kyai Muhammad Saefullah (wafat di usia 35 tahun pada 1985).

Meski Apa Lili telah tiada, warisan ilmunya, karomahnya dan semangat perjuangannya tidak pernah absen. Ia selalu hadir bagi para santrinya, umatnya dan bangsa Indonesia.

Lagi-lagi ia tidak pernah pergi, tapi beranjak ke tempat yang kekal abadi. Kesediahan bagi kita semua atas kepergiannya barangkali sebuah pintu masuk menuju kebahagian yang baru bagi Apa Lili.

Kami jadi teringat sebuah syair dari Syeikh Al-Bushairi yang berbunyi: ”bila matamu tak lagi dapat melihat orang yang kau cintai, maka janganlah hendaknya telingamu tak pula mendengar tentang dia.”

Begitu juga sebagaimana syair dari Habib Abdullah bin Alawy Al Haddad yang pernah berkata: ”dalam mengingat mereka kutemukan kesejukan, yang mengobati kegersangan qalbu.”

Dengan demikian, untuk mengenang guru kita tercinta, Kyai Kholilullah haul menjadi sangat dinantikan. Rencananya, acara ini akan digelar pada sabtu, 4 Maret 2023 atau seharian penuh dan dimeriahkan dengan tabligh akbar bagi kaum ibu dimulai pada pukul 07.30 WIB.

Tak lupa, para alumni juga akan saling bersilaturahmi dan dziarah bersama dari pukul 13.00-18.00 WIB, dan juga tabligh akbar umum pada pukul 18.30 WIB yang dipandu oleh tausyiah dari Abuya Kyai Abdullah Mukhtar dan Drs. KH. Endang Kusmana.(*)

Pos terkait