Marhaban Ya Ramadan

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Ucapan “Marhaban Ya Ramadan” dapat kita jumpai di beberapa ruang publik nyata dan ruang maya. Iklan-iklan beragam usaha rintisan juga jauh-jauh hari telah mengumandangkan ucapan ini.

Bacaan Lainnya

Jika diingat-ingat, mungkin sejak saya kecil ucapan selamat datang bulan Ramadan telah menjadi salam pembuka terhadap kedatangan bulan Ramadan dari generasi ke generasi. Perbedaannya hanya terletak pada media yang digunakan untuk memasang dan mengucapkan kalimat ini.

Spanduk, pamplet, dan baligo ucapan selamat datang bulan Ramadhan sebelum milenium kedua masih diisi oleh konten iklan dari minuman hingga makanan yang ditawarkan. Sampai tahun 2005, masih jarang alat peraga iklan diisi oleh konten para tokoh (mulai dari kepala daerah, anggota DPRD, DPD, DPR, hingga presiden) yang mengucapkan selamat datang bulan Ramadan.

Tidak jauh berbeda dengan iklan-iklan minuman dan makanan, alat peraga iklan yang menampilkan sejumlah tokoh pun pada dasarnya –disamping memang menyambut baik kedatangan bulan Ramadan- juga sebagai media untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat.

Hal penting dari kehadiran ucapan selamat datang bulan Ramadan tidak lebih merupakan ekspresi kegembiraan umat Islam dalam menyambut bulan suci.

Sejalan dengan salah satu hadits nabi, Siapa saja yang menunjukkan ekspresi gembira saat bulan Ramadan datang, jasadnya tidak akan tersentuh api neraka.

Kegembiraan sering membuncah di luar nalar memang lumrah karena demikianlah di saat hormon endorphin telah membuncah di dalam otak, manusia hanya akan diliputi oleh kegembiraan.

Kita pasti pernah menyaksikan saat kesebelasan kesayangan mampu membobol gawang lawan, bagaimana euphoria para pendukung mengekspresikan kegembiraan dengan melakukan beragam atraksi dan aksi. Begitulah kegembiraan, hanya sesaat namun diliputi oleh kesan mendalam.

Semakin maraknya teknik pemasaran dan pencitraan, jika dua dekade lalu spanduk dan baligo ucapan selamat datang bulan Ramadan hanya diisi oleh potret para tokoh tertentu (inohong), sejak lima tahun terakhir, konten ucapan semakin semarak diisi oleh potret-potret diri dari mulai tokoh organisasi kemasyarakatan, LSM, OKP, Komunitas, hingga paguyuban-paguyuban. Kembali, sikap ini mencerminkan wujud kegembiraan mereka dalam menyambut kedatangan bulan Ramadan meskipun sebetulnya tidak selalu harus diwujudkan melalui cara seperti ini.

Ukuran dan lokasi penempatan alat peraga iklan pun berbeda-beda, sesuai kapasitas tokoh dan seberapa besar biaya pemasangan iklan mampu dikeluarkan untuk membayar vendor.

Tokoh-tokoh nasional sudah tentu menempati papan besar reklame di pusat kota, wajah mereka terpampang dengan senyum lebar, mimik dan raut wajah berbahagia, pakaian bersih, bersongkok, dan disertai gestur kedua telapak tangan dipertemukan seperti orang sedang siap menyalami siapapun yang melihat potret tersebut.

Dari mulai pejalan kaki hingga pengemudi kendaraan dapat melihat wajah-wajah tokoh tersebut. Bahkan dari sekian pemerhati tersebut ada di antara mereka yang mengagumi, hambar, dan kurang menyukai sosok yang ditampilkan pada papan reklame.

Semakin kecil ruang lingkup dan cakupan wilayah para tokoh, maka ukuran dan jumlah alat peraga iklan diri pun semakin mengecil dengan desain alakadarnya.

Tokoh-tokoh di tingkat kecamatan sampai desa atau kelurahan yang sempat membuat konten selamat datang bulan Ramadan hanya mampu menempatkan spanduk di pinggir-pinggir jalan yang mudah dibaca oleh pengemudi kendaraan.

Bahkan, rata-rata dari sasaran reklame tersebut lebih tidak acuh terhadap kehadiran reklame dalam bentuk spanduk, berlalu begitu saja.

Ya, karena sangat mustahil bagi tokoh-tokoh tingkat kecamatan dan desa/kelurahan membayar konsultan iklan atau pembuat konten yang –dalam terminologi kaum milenial- eye catching, sedap dipandang. Tapi tidak perlu risih, tidak mengundang nyali pemerhati bukan berarti spanduk-spanduk tokoh tersebut tidak sedap dipandang mata.

Sebetulnya, alat peraga iklan semakin semarak tidak hanya menjelang Ramadan. Karena setiap bulan selalu ada perayaan hari-hari besar nasional, hari besar kelahiran daerah, hari lahir ormas, ulang tahun lembaga, hingga ulang tahun para tokoh, seperti menjadi satu keharusan dijadikan konten ucapan melalui reklame atau alat peraga iklan.

Tahun 90-an, kita hanya menyaksikan spanduk dan reklame iklan kecap dan produk lainnya di depan toko, warung, dan ruang publik. Sekarang ini, iklan-iklan makanan, minuman, pasang AC, service lemari es, pasang CCTV, penjual obat penguat, saling berhimpitan bersama potret-potret para tokoh. Malahan, kita mungkin masih dapat menyaksikan stiker calon legislatif tahun 2014 masih menempel dengan kuat pada tembok-tembok dan tiang-tiang listrik.

Marhaban Ya Ramadan di Ruang Maya

Jika ruang nyata disesaki oleh spanduk, baligho, dan pamflet ucapan selamat datang bulan Ramadan, di ruang maya juga demikian. orang-orang mengekpresikan kebahagiaan dalam menyambut bulan Ramadan melalui status, gambar, stiker, twibbon yang dilengkapi oleh potret diri. Setiap pemilik akun media sosial seolah tidak ingin ketinggalan mengucapkan selamat datang bulan Ramadan. Dalam hal ini termasuk opini dan artikel yang saya tulis dapat dikategorikan sebagai luapan kegembiraan dalam menyambut kedatangan bulan suci Ramadan.

Ada sedikit perbedaan antara konten di dunia nyata dengan ruang maya. Konten ucapan selamat datang Ramadan di dunia nyata tidak seluas di ruang maya. Meskipun ruang maya berukuran sebesar layar atau monitor ponsel dan komputer, namun spectrum dan jangkauannya lebih luas dan dapat diakses di mana saja. Seseorang yang sedang membuka media sosial di kamar tidur, ruang tamu, hingga di kamar mandi dapat membaca dan mengakses ucapan selamat datang bulan Ramadan yang dikirim oleh akun pertemanan di media sosial.

Lebih dari itu, ruang maya seperti media sosial diproduksi dengan dukungan pola interaksi mendalam antar satu akun dengan akun lainnya. Seseorang dapat memberikan tanggapan atau komentar terhadap gambar ucapan selamat datang yang dikirim oleh temannya, membalas kembali ucapan selamat datang bulan Ramadan, dan menambahkannya dengan kalimat-kalimat kebaikan.

Hal seperti ini tidak mungkin dilakukan terhadap spanduk, sangat tidak sopan jika spanduk seorang tokoh diberikan komentar melalui tulisan pada spanduk tersebut, kesannya malah dapat kita sebut mencorat-coret spanduk, kemudian dinyatakan sebagai sikap vandalisme.

Ruang maya dapat diakses melalui ponsel cerdas dan memanfaatkan koneksi internet merupakan milik setiap orang. Masyarakat biasa yang bukan tokoh di wilayahnya pun dapat memasang gambar ucapan selamat datang bulan Ramadan di dinding pribadinya kemudian menandai teman-temannya dengan harapan diberi respon oleh mereka.

Di ruang maya, komunikasi berlangsung begitu cepat, tanpa batas, orang Cikundul dapat membuka atau melihat ucapan selamat datang bulan Ramadan yang diunggah oleh orang Chicago. Seorang siswa dapat menandai seorang professor. Begitulah rupa dan bentuk abstrak dunia maya, dunia tanpa tedeng aling-aling jika tidak bukan etika dan sikap santun dari penggunanya.

Kenyataan seperti di atas tidak pernah dijumpai oleh generasi X di saat masih kanak-kanak. Generasi X apalagi baby boomers. Beberapa tahun lalu, kedatangan bulan Ramadan biasanya disemarakkan oleh penanda tradisional: suara petasan dan bedil lodong. Penanda tradisional ini merupakan wujud ekspresi kegembiraan masyarakat saat itu menjelang kedatangan bulan Ramadan.

Tidak dapat dimungkiri, setiap generasi, setiap orang, dan setiap komunitas masyarakat memiliki cara yang berbeda dalam menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Mulai dari sikap politis, agamis, humanis, hingga sebatas hiburan semata. Mereka merasa berbahagia. Tentu saya pun harus mengikuti cara-cara mereka dalam mengekspresikan kedatangan bulan Ramadan dengan mengucapkan: Marhaban Ya Ramadan.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *