Akting Film Horor dan Si Buta Di Ladang Petani

SEPERTI kebanyakan bocah-bocah lelaki lain di kampung waktu itu, saya suka menonton film saat libur panjang tiba. Saya dan teman waktu itu saling menjemput hanya untuk berangkat ke bioskop yang ada di Kota. Bemodalkan uang saku seadanya kami berangkat dengan menggunakan tumpangan mobil bak terbuka.
Mulai dari Film Rambo, Jaka Swara, Chen Lung, Catatan si Boy, Warkop DKI, Si Buta dari Goa Hantu, Cukong Blo’on dan film terbaik lainnya. Benyamin Sueb sudah meninggal sebelum saya mengenal dan menonton filmnya. tetapi akhirnya kami bisa menontonnya juga pada era kaset video dan menikmati kehebatannya dalam gambar buram kaset bajakan yang dijual murah pinggir jalan.

Sekarang umur kami bertambah dan mulai lelah menonton film, kesukaan saya dan teman-temanku mungkin sudah berubah. Satu dua senang mengirimkan pesan dakwah melalui aplikasi WhatsApp dan mungkin sudah mereka sudah tidak menyukai film apa pun. Hingga kini, saya masih menyukai Benyamim Sueb, terutama dalam film yang berjudul ‘Dukun Kota’. Film yang menceritakan sebuah banyolan tentang seorang dukun yang menipu para pasiennya dengan berbagai muslihat.

Bacaan Lainnya

Benyamin S yang memerankan nama dukun Parno berhasil menipu mentah-mentah pasiennya yang datang dari Surabaya, Jakarta dan Bandung hingga pada ahirnya menjadi buronan.

Sebetulnya, jenis film waktu itu saya lebih suka film horornya, sebuah genre yang tidak digemari oleh manusia penakut. Ya film yang berjudul ‘Drakula Mantu’ yang menceritakan pemuda penganguran karena mendesak ekonominya hingga bersedia menjadi tukang bangunan. Padahal pemuda yang diperankan oleh Benyamin S tidak memiliki keahlian untuk menjadi tukang bangunan, apalagi membetulkan rumah tua yang rusak.

Dalam film itu terlihat jelas, bahwa jika seseorang memaksakan kehendak untuk bekerja yang tidak dia fahami sebelumnya maka akan yang terjadi kelucuan yang terjadi. Melihat semangatnya saja tak cukup, jika tidak dibarengi ingin belajar dan terus belajar. Tujuan Pemuda itu jelas ingin merubah keadaan dalam hidupnya dengan membetulkan rumah tua hingga pada akhirnya penghuni yang direncanakan datang dari Inggris bisa menikmati rumah dengan nyaman.

Lucunya lagi, ternyata didalam rumah itu banyak hantunya hingga target untuk memperbaiki rumah tua yang rusak sangat sulit. Anehnya lagi, para hantu jenis Drakula itu menanti pangeran Drakula untuk dikawinkan kepada salah satu gadis hantu drakula penghuni rumah.

Film yang di Sutradarai oleh Nya Abba Akup menjadikan teman saya jadi penakut hingga kini. Karena menurutnya sosok Pak Item atau Tan Ceng Bok menjadi hantu pertama yang dia jumpai di layar. Peran Tan Ceng Bok sebagai Drakula masih ingat jelas dalam fikirannya, hingga kalau berjalan malam-malam dirinya suka ditemani istri atau sahabatnya. Mungkin, masih takut Hantu Drakula atau Istrinya yang takut suaminya diterkam Drakula dalam bentuk lain.


Bahkan temanku, masih ingat bagaimana kami pulang seusai menonton film Drakula ini. Temanku menceritakan usai menonton kala itu, kami harus berjalan hingga belasan kilometer. Kendaraan untuk menumpang tidak ada, ongkos untuk naik kendaraan umum tidak punya, karena uangnya habis dibelikan jagung.

Dalam perjalanan pulang dengan langkah cepat-cepat dan tidak banyak bicara, dengan tengkuk merinding melewati tempat-tempat gelap, dengan pikiran dihantui oleh drakula yang siap menyergap kami sewaktu-waktu dan mengisap darah kami. Padahal kalau kita berfikir cerdas di Indonesia tak ada yang benar-benar hantu Drakula.

Baru ketika saya membaca tulisan A Laksana (seorang penulis yang tinggal di Jakarta) yang katanya dirinya menemui novel-novel Drakula karangan penulis Irlandia Bram Stoker. Novel tersebut merupakan karya puncak cerita hantu pengisap darah.

Drakula benar-benar ada dan belakangan dijumpai di internet artikel berjudul ‘Drakula ternyata Benar-Benar Ada!’ Tulisan itu berisi laporan tentang sejumlah penelitian yang sudah dilakukan orang untuk membuktikan bahwa hantu pengisap darah itu bukan semata-mata khayalan. Penelitian pertama dilakukan lebih dua puluh tahun lalu oleh Stephen Kaplan, seorang ahli jiwa yang mengepalai Lembaga Riset Vampir di New York, Amerika Serikat.

Saya berfikir, itu khayalan yang bagus, yang disampaikan secara meyakinkan, seringkali membuat orang sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Sama halnya seperti Cerita ‘Sibuta dari Gua Hantu’ kisah yang menceritakan kisah hidup tragis Barda Mandrawata, seorang pendekar silat dari perguruan pencak silat Elang Putih yang hancur hidupnya. Dalam kisah film tersebut Si buta berhasil membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Anehnya hingga kini ada orang yang menyakini kesaktian si Buta Gua Hantu memang ada.

Bisa saja ada, tapi yang benar-benar ada orang bekacamata hitam yang pura-pura buta yang hadir kesiangan di ladang petani. Tak mengerti kenapa tiba-tiba orang itu datang, padahal tidak mengerti kehidupan petani. Perintahkan bertani sementara lahannya hilang, pupuk melambung harga jual rendah apakah cerita petani sejahtera merupakan ucapan nyata. Ataukah sama ngawurnya dengan cerita si Buta Gua Hantu, tapi orang saat ini membutuhkan cerita kepalsuan semacam itu untuk dijadikan sebagai pembenaran, tidak peduli apakah yang mereka dengar itu masuk akal atau tidak. Saya ingin bertanya, apa gunanya menghadirkan sosok orang buta.

Dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa suara kanan kirinya untuk bergerak. Tidak bisa melihat kesalahan yang diperbuat orang, sebab tidak melihat secara jelas. Ia juga tidak bisa melihat siapa yang akan datang tanpa diberitahukan oleh orang lain. Artinya, orang buta memerlukan orang lain untuk mejadi berguna bagi yang lain.
Tetapi, itu kehidupan. Orang bisa berbuat ngawur di dalam kehidupan nyata dengan berpura-pura buta.

Mengarang dan menulis bebas adalah cara untuk menyampaikan dengan gaya apa yang kita ingin sampaikan. Dan cerita yang bagus akan bertahan selamanya karena ia disampaikan penuh perhitungan oleh orang yang cakap.

Kisah dan sejarah buruk bisa terasa bagus pada suatu waktu, namun bisa saja mengenaskan pada waktu-waktu berikutnya. Ia seperti film-film yang saya tonton waktu kecil. Sesekali saya masih suka iseng menonton ulang film-film lama ini lewat internet dan menjadi sedih karena semuanya tampak buruk untuk ditonton hari ini. Ceritanya terlampau sederhana penuh dengan kebohongan dan koreografinya kurang canggih sehingga apa yang terlihat seperti main-main belaka. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *