Setengah Suni Setengah Syiah

Akhirnya saya sadar. Bahwa saya telah berada di dalam masjid Syiah. Bayangan saya pun flashback: ingat saat saya ke kota suci Qum, Iran. Enam tahun lalu. Ingat saat saya ke Iraq. Lima tahun lalu: ke makam Syeikh Abdul Qadir Jaelani di Baghdad. Dan ke masjid Sayidina Hussein di Karbala.

Saya juga ingat masa kecil. Di Tegalarum, Magetan. Pada acara yang disebut Rebo Wekasan. Pada tiap tanggal 10 Muharam. Selalu ada gentong ditaruh di atas kursi. Di halaman masjid. Berisi penuh air. Di dalamnya ada kertas. Bertulisan Arab. Saya lupa bunyinya.

Tulisannya Arab pegon. Arab gundul. Tidak ada tanda bacanya. Orang desa saya menyebut itu rajah. Atau jimat. Benda sakti. Setelah tengah hari orang-orang bergilir ke gentong itu.

Ambil airnya. Untuk diminum. Bapak saya bercerita: acara itu untuk mengenang meninggalnya Sayidina Hussein. Tidak ada yang tahu kalau itu tradisi Syiah. Bahkan kami tidak tahu kalau ada aliran yang disebut Syiah.

Kami ini tahunya hanya NU, Muhammadiyah, Persis, Syathariyah, Nahsabandiyah, Qadiriyah. Setelah dewasa baru tahu ada Syiah, Wahabi, Khawarij dan seterusnya. Dari buku. Bahkan bentuk kuburan Islam di Indonesia ini tak lain adalah adat Syiah. Di Arab kuburannya tidak seperti itu.

Kembali kepada realitas: saya sudah berada di dalam masjid Syiah. Di San Antonio ini. Berarti saya akan jadi minoritas. Satu-satunya Suni di tengah jamaah Syiah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *