Benci Sayang

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

OLEH: DAHLAN ISKAN

KASIH sayang itu jiwa asli manusia yang dibawa sejak lahir. Kebencian itu datang akibat pendidikan dan lingkungan.

Bacaan Lainnya

Itu bukan kata-kata ciptaan saya. Itu saya gubah dari salah satu isi grup WA. Saya diikutkan di dalamnya.

Lebih 10 grup WA yang saya ikuti setiap hari. Ada yang sangat oposisi. Ada yang sangat pro. Ada pula yang memperjuangkan sikap moderat.

Tentu ada juga grup WA yang sangat pribumi. Saya ada di dalamnya. Tapi saya ikut dalam grup yang sangat Tionghoa.

Soal kalimat-kalimat yang saya sadur tersebut dari grup WA yang memperjuangkan sikap moderat. Banyak kiai di dalamnya. Banyak juga profesor dan doktor.

Saya tidak mempersoalkan apakah kredo tersebut benar. Juga tidak bertanya: apakah itu didasarkan pada penelitian ilmiah.

Setidaknya itu memberikan gambaran baru bagi saya. Yang sejak kecil sudah mendapat penjelasan: semua sifat yang melekat pada manusia itu warisan sejak Nabi Adam. Termasuk unsur kebencian dan kejahatannya.

Memang, kalau saya ingat, saya pernah terpengaruh orang tua: membenci Pak De, kakak ibu saya. Sampai-sampai salah satu tanamannya saya tebang. Secara sembunyi-sembunyi –tapi ketahuan.

Orang tua saya sebenarnya tidak mendidik saya untuk membenci Pak De. Orang tua selalu mengajarkan untuk menghormati orang yang dituakan. Tapi saya pernah mendengar –sebagai anak kecil– orang tua yang sedang ngobrol dengan kakak saya yang sudah dewasa: betapa ibu saya menderita akibat Pak De.

Pun itu hanya cerita. Obrolan. Semacam rerasan –mungkin disebut curhat di zaman sekarang. Atau kelasnya lebih rendah dari curhat. Mungkin hanya karena tidak ada bahan omongan lain. Padahal orang itu kalau lagi duduk-duduk harus saling bicara. Di desa duduk-duduk memang bisa lebih banyak dari sibuk-sibuk.

Baik mana: lebih banyak bisa duduk-duduk yang membuat keluarga berinteraksi atau lebih banyak sibuk sampai tidak bisa memperhatikan keluarga?

Dalam kasus mengobrolkan Pak De itu jelas pengaruhnya pada saya: jadi membenci Pak De. Padahal orangtua saya sendiri, dalam kehidupan sehari-hari, saya lihat, bersikap sangat hormat pada Pak De.

Hanya saja ayah saya selalu merasa tidak enak di setiap bulan puasa. Ia harus menggantikan Pak De jadi imam shalat tarawih –karena hafalan ayat-ayat kitab sucinya lebih banyak. Dengan demikian di 27 rakaat itu –unit gerakan dalam shalat– bisa selalu menampilkan surah –kumpulan sejumlah ayat– yang berbeda.

BACA JUGA : Bulan Madu

Isi obrolan yang didengar anak kecil pun bisa menimbulkan dorongan perbuatan menumbangkan tanaman.

Itu baru obrolan. Yang didengar secara tidak sengaja.

Masih ditambah obrolan sesama teman. Atau buku pelajaran.

Pengajaran di sekolah yang berulang-ulang lebih dahsyat lagi. Jadinya, ketika remaja, begitu banyak yang harus saya benci: Yahudi, Kristen, orkes melayu dari desa tetangga, Bani Ummaiyyah, Abu Jahal, pemain voli dari sekolah sebelah, tikus yang pernah makan kulit tumit saya sampai berdarah –saat saya tidur lelap di atas tikar.

Saya juga membenci cangkul yang pernah membuat satu jari kaki saya hampir putus. Saya kencingi luka itu –begitulah salah satu cara pengobatan di sawah– sebelum meneruskan mencangkul lagi.

Setelah dewasa saya ke makam Pak De. Saya minta maaf di makam itu. Saya sudah berubah dari benci ke yang lebih netral.

Dari benci ke netral bisa juga karena pendidikan –termasuk pergaulan yang lebih luas, bacaan yang lebih bervariasi dan sikap kritis kepada apa saja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *