Dua Sisi Mata Uang Kenaikan Tarif Transportasi Online

Suci Nur Imelda (Mahasiswa Prodi Manajemen, Universitas Nusa Putra Sukabumi)

Oleh : Suci Nur Imelda
(Mahasiswa Prodi Manajemen, Universitas Nusa Putra Sukabumi)

PERTUMBUHAN Ekonomi, sebuah istilah yang sering kita dengar saat menyaksikan tayangan informasi atau berita mengenai perekonomian Indonesia, dan disebut-sebut sebagai hal yang sangat penting. Pertumbuhan ekonomi suatu negara memang berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyatnya, sehingga menjadi tolak ukur apakah negara tersebut berada dalam keadaan ekonomi yang baik atau tidak.

Bacaan Lainnya

Naiknya tarif transportasi online menjadi berkah bagi para pengemudi. Tapi, kenaikan tarif juga tidak semerta-merta meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Yang ada, disinyalir justru berpotensi mengurangi jumlah pemanfaat transportasi online. Jika itu terjadi, maka dapat menyebabkan bisnis transportasi online menjadi lesu dan dapat berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi kita.

Kementerian Perhubungan telah memperluas pemberlakuan tarif transportasi online dengan menambahkan 88 kota baru termasuk di dalamnya Kota dan Kabupaten Sukabumi. Keputusan kenaikan tarif tersebut, tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.

Awalnya, Kementerian Perhubungan melakukan uji coba di lima kota besar, lalu diperluas jadi 45 kota, kemudian ditambah 88 kota pada bulan Agustus 2019 sehingga total menjadi 128 kota. Sebelumnya, tarif ojol hanya berkisar Rp.1.700 sampai Rp 1.800 per kilometer untuk jarak dekat. Kemudian Rp.2.000 per kilometer untuk jarak jauh.

Dengan aturan yang baru, tarif ojol dibagi menjadi 3 zona. Zona I (Sumatra, Jawa, Bali kecuali Jabodetabek) bertarif Rp.1.850 sampai Rp.2.300 per kilometer dengan biaya minimal Rp 7.000 sampai Rp.10.000.

Selanjutnya zona II, khusus wilayah Jabodetabek ditetapkan Rp.2.000 sampai Rp.2.500 per kilometer dengan biaya minimal Rp 8.000 hingga Rp 10.000. Sedangkan zona III meliputi wilayah, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku ditetapkan Rp.2.100 hingga Rp.2.600 per kilometer dengan biaya minimal Rp.7.000 sampai Rp.10.000.

Bagi kalangan pengemudi transportasi online, tarif layanan menjadi penentu ‘hidup’ mereka di jalanan. Selama ini berkali-kali gabungan pengemudi transportasi online turun aksi sampai ke Istana Presiden meminta pemerintah untuk campur tangan soal tarif.

Pengemudi satu suara, mereka merasa tarif yang berlaku sebelumnya sangat kurang adil bagi mereka yang tiap hari berpanas-panasan, berkeringat dan kehujanan untuk melayani pengguna.

Namun, bagaikan dua sisi mata uang, kenaikan tarif ini justru tidak disukai para penumpang. Mahalnya tarif membuat sebagian penumpang beralih memakai alternatif angkutan lain karena tarif baru itu dianggap terlalu memberatkan.

Kenaikan tarif ini disikapi berbeda oleh para pengemudi di Kota Sukabumi. Sebagian ada yang merasa khawatir, kebijakan pemerintah pusat menaikan tarif ini bakal berdampak berbeda kepada setiap daerah. Karena, kenaikan tarif transportasi ini akan mengurangi minat pengguna jasa transportasi online. Hal ini juga jelas akan berdampak pula pada penurunan penghasilan pengemudi transportasi online.

Pendapatan pengemudi memang menebal, tapi tidak ada jaminan jika kenaikan tarif bisa meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Kenaikan tarif justru berpotensi menggerus permintaan transportasi online hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi.

Hal tersebut terungkap lewat hasil penelitian lembaga penelitian Research Institute of Socio-Economic Development (RISED). Hasil survei RISED yang berjudul “Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia”, menunjukkan sebesar 75,2 persen responden merasa keberatan atas kenaikan tarif ojek online.

Konsumen yang menolak kenaikan tarif ini merupakan kelompok masyarakat yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Mayoritas mereka merupakan masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah.

Faktor tarif ternyata menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan transportasi daring. Konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif, sebagai alasan utama daripada waktu yang efektif dan keamanan.

Dipastikan akan terjadi ketidak seimbangan antara pengguna jasa transportasi online dan pengemudi transportasi online. Sebab, hingga saat ini pihak aplikator masih membuka pendaftaran bagi driver baru. Sedangkan, penumpang di Kota Sukabumi itu terbatas dan berbeda dengan kota-kota besar lainnya.

Di mata hukum, kehadiran transportasi online di Indonesia masih abu-abu. Transportasi online bukanlah angkutan umum resmi sesuai Peraturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, Transportasi online ini juga berperan mendongkrak pertumbuhan bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Tapi, jika kenaikan tarif ini berlangsung lama, hal ini membuat harga produk UMKM menurun dan mengurangi daya beli masyarakat. Ujungnya, kondisi ini berpotensi menggerus Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai Rp30 triliun sampai 40 triliun. Yang pada akhirnya, Indonesia akan berpotensi kehilangan bisnis tertentu yang menjadi salah satu sumber perekonomian.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui kehadiran transportasi online mampu mengurangi angka pengangguran dalam negeri. Kepala BPS, Suhariyanto me\ngatakan, bergeliatnya industri transportasi online turut mendongkrak jumlah penyerapan tenaga kerja di bidang transportasi. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *