Social Distancing dan Pengaruhnya Bagi Perekonomian Indonesia

Luthfan Rafy M.G Mahasiswa Program Study Manajemen Universitas Nusa Putra

Luthfan Rafy M.G
Mahasiswa Program Study Manajemen Universitas Nusa Putra

Tahukah anda apa itu social distancing? Social distancing adalah mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain, mengurangi kontak tatap muka langsung. Langkah ini termasuk menghindari pergi ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti supermarket, bioskop, dan stadion. Bila seseorang dalam kondisi yang mengharuskannya berada di tempat umum, setidaknya perlu menjaga jarak sekitar 1,5 meter dari orang lain.

Bacaan Lainnya

Social distancing di Indonesia dimulai ketika wabah corona semakin menyebar dan masuk ke negara kita indonesia, sehingga desakan untuk melakukan lockdown pun muncul dari kalangan masyaratakat. Untuk itu pemerintah mengambil opsi lain yakni social distancing.

Hal tersebut diberlakukan diseluruh indonesia termasuk di kota sukabumi. Sejatinya lockdown dan social distancing bukanlah istilah yang dipakai di peraturan kita, yakni UU nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan. Berdasarkan UU tersebut istilah lockdown lebih mirip dengan karantina sedangkan social distancing serupa dengan bagian kelima undang undang ini yakni pembatasan social berskala besar.

Sayangnya social distancing yang dipilih pemerintah sebagai langkah penanggulangan pandemi covid-19 lebih mirip dengan kampanye daripada sebuah kebijakan. Pasalnya, tak ada peraturan pemerintah yang diterbitkan dengan terminologi yang mengacu pada UU no 6 tahun 2018.

Pemerintah justru bekerja mirip dengan lembaga masyarakat mengumumkan informasi dan membagikan bantuan. Tak salah dengan dua hal tersebut, pemerintah memang perlu melakukan itu, tapi lebih dari itu pemerintah adalah penghasil kebijakan.

Dimana seharusnya jika memang pemerintah mengambil opsi “social distancing”, perlu diterbitkan peraturan mengenai pembatasan social berskala besar mengacu pada UU no 6 tahun 2018 lengkap dengan segala teknis pelaksanaan, cakupan kebijakan, dan sanksinya.

Sebagai contoh, dalam pasal 59 ayat (3) dijelaskan bahwa pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum.

Lantas, dalam pelaksanaannya, masih ada daerah yang menyelenggarakan kegiatan keagamaan, masih ada yang berkumpul di cafe, masih ada kantor yang meminta pegawainya bekerja, masih ada guru yang harus masuk sekolah. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar, kebijakan apa yang sebenarnya diambil oleh pemerintah?

Benarkah pemerintah sedang mengambil kebijakan pembatasan sosial berskala besar?

Apakah mereka yang saya contohkan diatas dapat disebut melanggar?

Atau apakah mereka dapat dikenai sanksi?

Selama tidak ada peraturan yang jelas, penanganan covid-19 menjadi buram. Baik bagi aparat yang bertugas, maupun bagi masyarakat. Selain itu, social distancing pada wilayah masyarakat indonesia memang sulit dialakukan.

Seperti yang kita tau bahwa Wabah corona atau Covid-19 tak hanya mengguncang Wuhan, tetapi juga dunia. Kita bisa merasakan kepanikan melanda dunia saat ini jumlah korban yang positif mencapai 854.608 jiwa. Tak hanya itu perekonomian global juga mulai terkena dampaknya.

Dampak virus corona terhadap perekonomian Indonesia penurunan harga komoditas dan barang tambang akan berdampak kepada penurunan pendapatan pekerja disektor tersebut. Karena ekonomi kita masih tergantung pada komoditas dan barang tambang, maka daya beli akan menurun. Jika daya beli menurun, maka tak ada insentif bagi pengusaha untuk meningkatkan investasinya.

Tak hanya itu, isolasi atau pembatasan aktivitas yang terjadi di China juga akan mengganggu ketersediaan barang impor yang berasal dari China. Akibatnya industri atau sektor yang bahan baku atau barang modalnya berasal dari china akan terganggu proses produksinya. Begitu juga barang konsumsi, jika pasokan lokal tak tersedia maka harga akan meningkat.

Dari sektor perbankan, kita harus hati-hati dan terus memonitor dampaknya kepada kemungkinan peningkatan kredit macet. Risiko kredit macet juga bisa meningkat jika wabah virus ini berlanjut dan tak ada mitigasi yang baik. Dampaknya bisa cukup serius.

Namun, seperti juga dalam kasus perang dagang, saya melihat bahwa dampak virus Corona terhadap Indonesia tak akan seburuk dampak terhadap Singapura. Alasannya: porsi dari sektor perdagangan Indonesia terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) jauh lebih kecil dibanding Singapura, yang di atas 200 persen.

Dampak virus Corona terhadap Indonesia tak akan seburuk dampak terhadap Singapura. Artinya dampaknya ada, namun relatif terbatas dibandingkan dengan Singapura atau Thailand.

Hal yang harus kita antisipasi adalah dampak menurunnya impor barang modal dan bahan baku yang dapat memukul investasi dan produksi di Indonesia. Ada baiknya perusahaan mulai memikirkan substitusi atau sumber impor dari negara lain.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan skenario berat hingga paling buruk yang akan dialami Indonesia akibat pandemik virus corona (covid-19). Dalam paparannya kepada awak media melalui conference call, Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mengalami kontraksi hingga 0,4 persen di akhir tahun.

Sementara untuk skenario berat, perekonomian RI hanya akan tumbuh di kisaran 2,3 persen. Sebelumnya, Menkeu sempat memaparkan, sekario berat hingga terburuk pertumbuhan ekonomi RI akan berada di kisaran 2,5 persen hingga 0 persen.

“Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan skenario lebih buruk -0,4 persen,” ujar Sri Mulyani.

Berapa besar dampaknya?

Perhitungan sensitivitas yang dilakukan menunjukkan bahwa jika perekonomian China melambat sebesar 1 persem, maka perekonomian Indonesia akan menurun sebesar 0,1-0,3 persen. Saya bisa membayangkan bahwa dampak sepanjang paruh pertama 2020 akan cukup signifikan.

Dengan skenario ini ada risiko pertumbuhan ekonomi kita akan berada di bawah 5 persen atau dalam kisaran 4,7-4,9 persen di tahun 2020 jika kita tak melakukan mitigasi. Ekonomi Indonesia sendiri memang sudah tumbuh di bawah 5 persen dalam triwulan IV-2019.

Lalu apa yang bisa dilakukan Indonesia?

Jika ekonomi global dan sektor perdagangan terganggu, maka kita perlu fokus kepada ekonomi domestik.

Saya melihat bahwa pemerintah perlu melakukan kebijakan kontra siklus. Instrumen yang paling efektif untuk itu adalah mendorong permintaan domestik melalui fiskal. Kita tak perlu terlalu kuatir untuk meningkatkan defisit anggaran.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *