Anggaran Pendidikan 20 Persen Hanya Formalitas

JAKARTA – Komisi X DPR RI menyebut anggaran pendidikan sebesar 20 persen selama ini, hanyalah formalitas belaka.

Jika ditelusuri, bahkan menurut Neraca Pendidikan Daerah yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak kota dan kabupaten yang mengalokasikan kurang dari 10 persen APBD untuk pendidikan,” jelas Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri kepada wartawan.

Dia menjelaskan, sebetulnya sektor pendidikan Indonesia memiliki payung yang kuat dalam mendukung anggaran sebesar 20 persen dari APBN dan APBD. Demikian pula dengan regulasi berupa UU 20/2013. Namun, Fikri menyayangkan alokasi anggaran tidak sepenuhnya berada pada kementerian yang mengurus pendidikan.

“Dari Rp440 triliun di APBN sekarang hanya Rp 40 triliun ke Kemendikbud, Rp40 triliun ke Kemenristekdikti dan Rp63 triliun di Kemenag. Artinya, dua pertiga anggaran pendidikan banyak untuk kementerian/lembaga lain, bahkan Rp200 triliun berupa transfer daerah,” paparnya.
Dengan kondisi tersebut, wajar bila dari delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP), terdapat empat standar

dengan katagori sangat buruk menurut BSNP. Dua SNP yang paling menonjol adalah mengenai sarana prasarana dan pendidikan dan tenaga kependidikan.

“Tidak ada satupun daerah yang tidak mengeluhkan dua standar ini,” kata Fikri.
Sarana dan prasarana lain misalnya dari 1,8 juta ruang kelas yang ada sebanyak 1,3 juta dinyatakan rusak dan hingga kini pemerintah hanya memperbaiki sedikit saja, hanya yang rusak berat sebanyak 250 ribu.

“Itu pun tahun 2018 ini hanya dialokasikan 25 ribu saja, sisanya diserahkan ke daerah sesuai UU 23/2014,” ujarnya.

Fikri juga menguraikan mengenai persoalan guru yang mengalami kekurangan sebanyak 900 ribu orang. saat ini belum ada skema pemenuhan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dengan alasan anggaran belum tersedia, sehingga diserahkan kepada sekolah sementara mereka tidak boleh diangkat menjadi honorer sesuai PP 48/2005.

Fikri menilai persoalan pendidikan karena bergantinya kebijakan secara berulang-ulang tiap terpilih pemerintahan yang baru. Begitu juga dengan kurikulum yang ganti setiap menteri baru ditunjuk.
“Karena kita belum memiliki grand design atau rencana induk pendidikan yang jelas. Dengan rencana induk yang jelas, amanat konstitusi mengenai alokasi 20 persen anggaran bagi pendidikan tidak hanya formalitas belaka,” imbuh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

 

(wah)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *