JAKARTA — Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, mengaku kecewa dengan putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) yang ‘menyunat’ hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, dari sembilan tahun menjadi lima tahun penjara.
Menurut Kurnia, pertimbangan Majelis Hakim MA tidak berdasar hanya karena keder Partai Gerindra tersebut telah bekerja dengan baik saat menjadi menteri, dan memberikan harapan kepada para nelayan.
“ICW melihat hal meringankan yang dijadikan alasan MA untuk mengurangi hukuman Edhy Prabowo benar-benar absurd atau tidak masuk akal. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan telah memberi harapan kepada masyarakat, tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK,” ujar Kurnia kepada JawaPos.com, Rabu (9/3).
Kurnia menegaskan, Majelis Hakim MA harusnya memahami Edhy Prabowo adalah seorang pelaku tindak pidana korupsi. Kader Gerindra ini telah terbukti memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum.
Maka dari itu, Kurnia menilai, sangat wajar Edhy Prabowo ditangkap dan divonis sembilan tahun kurungan bui mulai dari penjara, denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
“Lagi pun, Majelis Hakim seolah mengabaikan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menegaskan pemberatan pidana bagi seorang pejabat tatkala melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya. Karena itu, regulasi itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi oleh MA,” tegasnya.
Selain itu, ICW juga mempertanyakan bagaimana mungkin Majelis Hakim MA bisa memberikan pertimbangan bahwa Edhy Prabowo telah memberikan harapan kepada mengatakan masyarakat. Sedangkan pada waktu yang sama, Edhy melakukan praktik korupsi di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi Covid-19.
“Jadi hukuman lima tahun ini menjadi sangat janggal, sebab, hanya enam bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadinya Edhy, yakni Amiril Mukminin. Terlebih, dengan kejahatan korupsi yang ia lakukan, Edhy juga melanggar sumpah jabatannya sendiri,” ungkapnya.
Kurnia mengatakan, salah satu ciri korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa adalah karena dampak viktimisasinya sangat luas, dan merupakan perbuatan tercela serta dikutuk oleh masyarakat.
“Tentu dengan dasar ini, masyarakat sangat mudah untuk melihat betapa absurdnya putusan kasasi MA terhadap Edhy Prabowo,” tuturnya.
Karena itu, Kurnia mangaku pemotongan hukuman Edhy Prabowo oleh MA ini dikhawatirkan menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat yang ingin melakukan praktik korupsi.
“Sebab, mereka melihat secara langsung bagaimana putusan lembaga kekuasaan kehakiman jarang memberikan efek jera,” imbuhnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim MA resmi memotong hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dari sembilan tahun menjadi 5 tahun penjara.
Hukuman tersebut lebih rendah empat tahun dari putusan sebelumnya di tingkat banding. Sebab Edhy Prabowo divonis sembilan tahun kurungan penjara oleh Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama lima tahun dan pidana denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan,” ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro.