Mahasiswa Sukabumi Sebut Fungsi Pengawasan DPRD Lemah

PB HIMASI
Sejumlah mahasiswa yang tegabung dalam PB HIMASI saat menggelar unjuk rasa di gedung DPRD Kota Sukabumi, Rabu (16/11).

CIKOLE – Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa asal Sukabumi (PB Himasi) melakukan aksi unjuk rasa di gedung DPRD Kota Sukabumi, Rabu (16/11). Dalam aksinya tersebut para mahasiswa mempertanyakan terkait Raperda Keterbukaan Informasi Publik, Dana Covid-19, dan Pasar Pelita.

Ketua Umum PB Himasi, Danial Fadilah, mengatakan terkait dengan Raperda Keterbukaan Informasi Publik, pihaknya sudah mengajukan dari awal tahun 2022 dan saat itu sudah diterima dengan baik. Namun sayang, hingga saat ini pihaknya tidak mengetahui sejauh mana progres pengajuan tersebut, bahkan baru masuk prolegnya di tahun depan.

Bacaan Lainnya

“Jadi awal tahun ini, kami mengajukan satu raperda tentang Keterbukaan Informasi Publik. Namun yang kami sayangkan adalah, sampai sekarang kami tidak tahu prosesnya sudah sejauh mana, bahkan baru disampaikan pun barusan masuk prolegnya tahun depan, ada di nomor 16,” ujar Danial, kepada Radar Sukabumi usai melakukan unjuk rasa di gedung DPRD Kota Sukabumi.

Tidak hanya itu, permasalahan di Kota Sukabumi secara menyeluruh masalahnya ada di informasi yang tersendat. Buktinya, salah satu anggota dewan yang hadir dalam aksi unjuk rasa ini mengakui bahwa salah satu permasalahan terkait dengan Pasar Pelita saja, anggota DPRD tidak punya perjanjian kerjasama, sehingga menjadi pertanyaan apakah perjanjian kerjasama ini menjadi rahasia negara atau tidak.

“Kalau misalkan kita kaji dengan jelas di undang-undangnya, hal tersebut bukan menjadi rahasia negara. Hal tersebut menjadi hak publik, dan publik berhak tahu, tapi kenapa ini menjadi tersendat, karena kita di daerah tidak punya dasar hukum yang jelas, sehingga pejabat-pejabat di daerah selalu beralasan ini rahasia, ini rahasia dan ini rahasia,” tegasnya.

Terkait dengan dana Covid-19, lanjut Danial, hasil dialog publik dengan salah satu anggota dewan menyampaikan bahwa ada data yang pada akhirnya diragukan keabsahannya. Masyarakat harus tahu karena anggaran Covid-19 ini luar biasa besar, banyak data yang ganda, banyak data yang fiktif, bahkan data-data yang sudah meninggal pun dimasukan. Salah satunya tetangga dari anggota PB Himasi yang sudah meninggal tapi dimasukkan.

Namun ketika di kroscek, keluarganya tidak menerima bantuan dari dana Covid-19. “Sejauh ini itung-itungan dari kami yang masih awan, lebih kurang Rp 2 hingga 3 miliar itu kita kehilangan. Kitata pun akan melaporkan hal tersebut dan melakukan pengaduan kepada Kejaksaan, entah besok atau lusa kita masih coba menginventaris data-datanya. Ini bansos Covid-19 saja yang di tahun 2020,” ungkapnya.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Kota Sukabumi, Faisal Anwar Bagindo, menjelaskan terkait dengan Raperda Keterbukaan Informasi Publik, sebetulnya pada tanggal (2/3) itu sudah disampaikan ke pimpinan untuk direkomendasikan menjadi Prolegda.

Namun, pembahasan Raperda tersebut tidak masuk lantaran dana tidak cukup pasca ada kenaikan harga BBM. Kendati demikian Raperda tersebut akan bisa masuk di Prolegda 2023.

“Berkaitan Raperda Keterbukaan Informasi Publik itu tidak masuk, lantaran dana tidak cukup karena ada kenaikan harga BBM, dan dananya dialokasikan untuk kegiatan penanganan sosial untuk masyarakat yang terdampak,” ucapnya.

Berkaitan dengan dana Covid-19, kata Faisal, Anggota DPRD mengacu bukan kepada hasil investigasi, lantaran DPRD itu tidak diberikan kewenangan untuk mengarahkan ke sana, namun berdasarkan LLHP yang diterima pada 2020 dan 2021.

DPRD hanya memegang di 2022, bahwa BPK tidak merekomendasikan temuan bantuan Covid-19, dan tidak ada kegiatan-kegiatan yang menyalahi aturan. Namun apabila ada temuan pihaknya akan merekomendasikan ke inspektorat, dan aparat penegak hukum (APH) yang akan bertindak.

“Kita mengacu bukan kepada hasil investigasi, DPRD itu tidak diberikan kewenangan untuk sampai kesana. Kita pegang LHP di 2022, dan BPK tidak merekomendasikan temuan bantuan Covid-19 yang menyalahi aturan.

Jadi di DPRD itu berdasarkan dari LHP, baru kemudian kita menindaklanjutinya, dan kalau kemudian ada temuan kita rekomendasikan ke inspektorat, dan kemudian dikasih waktu 60 hari misalkan, maka APH yang akan bertindak,” tegasnya.

Berkaitan dengan Pasar Pelita, Faisal mengaku pada 2015 dirinya menjadi ketua pansus dan DPRD terlibat mengikuti tupoksi berkaitan dengan perjanjian kerjasama dengan PT. AKA, namun kemudian bermasalah lantaran tidak tuntas, dan kini pelakunya sudah diadili dengan kasus penggelapan uang.

Namun untuk perkembangan yang terbaru yaitu PT. Fortunindo. Faisal menyebut DPRD tidak ikut membahas terkait perjanjian kerjasama.

Namun DPRD bukan berarti membiarkan hal tersebut, yang dimana hasil dari pembangunan itu dianggap selesai dan kemudian dampaknya masyarakat masih tidak bisa masuk, khususnya para perdagangan.

“Kita panggil dinas terkait termasuk Walikota lantaran keluhannya ada satu, yaitu Pasar Pelita tidak bisa ramai lantaran harganya mahal. Maka kemudian rekomendasikan, Walikota harus diturunkan harganya. Nah dia akan berkoordinasi dengan pihak pengusaha, hanya itu yang kita sampaikan, jadi kita tidak masuk ke dalam area sampai yang sifatnya teknis,” pungkasnya. (Cr4/t)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *