Kota Sukabumi Level Biru, PGRI Keukeuh Tolak Siswa Masuk Sekolah

ILUSTRASI: Sejumlah siswa SD menyusuri jalan menuju sekolah.

SUKABUMI, RADARSUKABUMI.com – Kota Sukabumi berstatus level biru alias moderat pada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Provinsi Jawa Barat. Untuk itu Pemerintah Kota Sukabumi melakukan pelonggaran terhadap pelaksanaan ‘lockdown’ tersebut.

Kaitan dengan rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan memberlakukan siswa mulai masuk sekolah pada Juni nanti, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara menegaskan tetap menolak.

Bacaan Lainnya

“Tarik nafas dulu. Udah zero, baru masuk sekolah,” kata Dudung kepada Radarsukabumi.com, Kamis (28/5/2020).

Dudung juga mengatakan bahwa PGRI bukan organisasi eksekusi, sehingga meskipun pihaknya menegaskan menolak wacana dari Kemendikbud tapi itu hanya sebatas aksi berupa narasi. Maka sikap PGRI yang menolak siswa masuk sekolah ketika pandemi corona masih ada merupakan rekomendasi kepada pemerintah yang didasarkan atas aspirasi masyarakat.

“Kami cuma bisa memberikan imbauan, masukan, dan rekomendasi kepada pemerintah. Jalan terakhir jika memang diperlukan ya demo. PGRI biasanya diturut. Buat anak kok coba-coba,” ujarnya.

Lebih lanjut, pemerintah diwanti-wanti untuk tidak gegabah mengambil keputusan memberlakukan new normal di sektor pendidikan. Risikonya terlalu besar karena anak-anak belum paham tentang physical distancing.

“Sekolah di Indonesia beragam dengan beragam karakteristiknya. Kalau nanti diberlakukan new normal untuk sektor pendidikan, harus dianalisa betul-betul,” sebut Dudung lagi.

Dia menyebutkan, sekolah di Indonesia terbagi tiga. Pertama, sekolah besar terutama di perkotaan. Kedua, sekolah sedang, jumlah siswa normal. Ketiga, sekolah kecil, jumlah siswa kurang.

“Penerapan new normal di sekolah mungkin hanya cocok di sejumlah sekolah kecil di pinggiran desa yang tidak ada wabah. Kota besar dengan siswa besar, tenaga pendidik kurang, plus fasilitas terbatas akan sangat berisiko menjadi klaster,” bebernya.

Bila sekolah kecil dengan siswa kurang di daerah perdesaan atau tertinggal cenderung aman. Anak didik hanya melintasi pinggiran sawah, hutan dan sungai.

Namun, sekolah yang berada di kota besar, anak didik lebih rawan tertulari Covid-19. Sebab, sering melintasi ruang publik, keramaian dan fasilitas menggoda lainnya yang rawan.

Walaupun anak diduga lebih kuat imunnya, faktanya di sejumlah negara anak didik mulai menjadi masalah baru sebagai korban Covid-19.

Kemendikbud, lanjutnya, harus mempertimbangkan dengan cermat, cerdas, hati-hati dan tepat. Hak pendidikan anak tidak lebih utama dibanding hak sehat dan keselamatan.

“Kalau mau spekulasi, masuk sekolah paling cepat awal Agustus. Itu pun setelah dipastikan mulai Juni ini wabah terus menghilang dan tidak ada lagi yang terpapar,” katanya.

“Kita tidak boleh parno dan berhati-hati berlebihan, kecuali dengan nasib anak didik. Mengapa? Karena mereka adalah harta yang paling berharga di negeri ini,” pungkasnya. (izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *