GMNI Desak Keluar Dari IMF

CIKOLE– Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi meminta pemerintah Indonesia keluar dari International Monetary Fund (IMF). Pasalnya, mahasiswa ini menilai dengan keikutsertaannya dalam organisasi ini pemerintah indonesia masuk pada cengkaraman global kapitalis asing.

Permintaan keluarnya pemerintah Indonesia dari IMF ini disampaikan belasan mahasiwa tersebut dengan melakukan long march dan menyuarakan aksinya di depan Kantor DPRD Kota Sukabumi.

Bacaan Lainnya

Namun sayang, pada aksi penolakan kegiatan IMF dan Word Bank yang digelar di Bali ini tidak ada satupun anggota DPRD Kota Sukabumi yang menerima aspirasinya.Ketua GMNI Sukabumi, Abdullah Masyhudi meminta, pemerintah Indonesia keluar dari IMF. Sebab, saat ini kondisi Indonesia saat ini sedang tidak baik.

“Kita minta Indonesia keluar dari IMF. Termasuk memikirkan ekonomi alternatif yakni perekonomian kerakyatan. Apalagi perang ke depan bukanlah perang fisik, namun perang pangan,” ujarnya di sela-sela aksinya, Senin (8/10).

Dengan tidak terlibatnya Pemerintah Indonesia di IMF, secara langsung tidak membuka luas kesempatan investasi asing masuk. Menurutnya, Indonesia seharusnya memikirkan ekonomi kerakyatan seperti yang digagas Bung Hatta.”Satu diantaranya mengangkat kearifan lokal yang berbasis kerakyatan. Salah satu cara ialah nasionalisasi aset,” tegasnya.

Tak hanya itu, dalam agenda annual meeting IMF-WB di Bali, dirinya meminta agar kebijakan dan kesepakatan Pemerintah Indonesia tidak menyengsarakan rakyat. Apalagi ada tiga agenda yang dibahas dalam Annual Meeting IMF-WB di Bali tersebut.

“Satu yang dibahas diantaranya mengenai Land Bank. Hal ini puncak dsri sertifikasi tanah yang selama ini digadangkan Jokowi yang katanya ingin melaksanakan reformasi agraria. Kenyataannya untuk memuluskan pembentukan land bank hari ini. Ke depannya ini ubtuj memuluskan investasi glbal kapitalis asing untuk mencaplok tanah Indonesia,” ungkapnya.

Selain itu, dalam pertemuan tersebut adanya pembahasan pemberlakuan sistem outsourching dan melegalkan tenaga kerja wanita. Padahal, seharusnya laki-laki yang bekerja, bukan perempuan.

“Tak hanya itu, keluarnya undang-undang Dikti yang memberikan otonomi kepada perguruan tinggi untuk menarik uang pangkal kepada masyarakat. Sudah menderita susah mencari perekonomian, ditambah biaya kuliah yang sangat tinggi. Jadi, bagaiamana menciptakan generasi cerdas berkualitas, jika pendidikan dikapitalisasi,” pungkasnya

 

(upi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *