Wahli: Jembatan Gantung Situ Gunung Rusak Lingkungan

Pintu masuk jembatan gantung Situ Gunung di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)

SUKABUMI, RADARSUKABUMI.com – Wahana Lingkungan Hidup (walhi) Jawa Barat mengkritik keras keberadaan objek wisata jembatan gantung (suspension bridge,red) Situ Gunung. Mereka menilai, pembangunan jembatan gantung itu telah menyalahi aturan.

Di wilayah konservasi kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) itu, dibangun dua jembatan gantung. Diantaranya, jembatan gantung yang dibangun di atas pepohonan dengan panjang mencapai 243 meter dan lebar dua meter. Selain itu, saat ini pihak perusahaan tengah mengembangkan objek wisata tersebut dengan membuat kembali jembatan gantung untuk akses menuju air terjun Curug Kembar di zona konservasi kawasan TNGGP tersebut.

Bacaan Lainnya

“Jika dilihat dari konteks perlindungan kawasan cagar alam, sudah jelas pembangunan sarana penunjang wisata itu jauh dari semangat dan prinsip perlindungan dan pengawetan kawasan cagar alam itu sendiri. Sebab, dengan adanya pembangunan itu, akan semakin terbuka lebar pintu potensi kerusakan dan gangguan ekosistem di cagar alam,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong kepada Radar Sukabumi.

Namun menurutnya, mereka dalam melakukan pembangunan saranan penunjang objek wisata di kawasan TNNGP itu, menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). “Memang dalam aturan tersebut, diatur bahwa kawasan cagar alam boleh ada kegiatan wisata alam terbatas (pendidikan, penelitian, red). Tetapi, kami memandang pembangunan sarana objek wisata itu hanya berorientasi pada ekonomi atau profit semata dengan berkedok pada wisata pendidikan konservasi,” tandasnya.

Apalagi, pihak perusahaan setelah selesai melakukan pembangunan, kembali melanjutkan pembangunannya dengan membuat jembatan gantung untuk akses menuju air terjun Curug Kembar di zona konservasi kawasan TNGGP.

“Demi memajukan pariwisata, tapi merusak alam yang notabene hutan lindung dan cagar biosfer. Sekarang, taman nasional Gede Pangrango sudah flexible, banyak kelonggaran. Seharusnya, pemerintah juga konsisten dan menunjukan komitmen terhadap nilai dan prinsip perlindungan kawasan pelestarian alam. Bukan seperti ini. Terkesan mengorbankan hutan yang makin sempit demi wisata. Semata-mata hanya karena difasilitasi dan bernaung dibalik celah peraturan perundang-undangan yang ada. Padahal bicara ekologi, itu melampaui ide dan kaidah hukum positif,” bebernya.

Bupati Sukabumi, Marwan Hamami mengatakan, kondisi kerusakan lingkungan yang berada di zona konservasi kawasan TNGGP itu, harus dilakukan pencermatan secara mendalam. “Iya, karena saat ini ada beberapa perubahan kebijakan yang memperbolehkan hutan konservasi itu dimanfaatkan oleh kegiatan wisata alam terbatas. Namun, hal ini tidak boleh sampai merusak lingkungan alam secara utuh,” katanya.

Bila pihak perusahaan nekat melakukan pengrusakan alam seperti banyak melakukan penebangan pohon, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. “Sementara untuk sanksinya, itu berada di bawah kewenangan Kementarian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tukasnya.

Menanggapi hal tersebut, Pengelola PT. Fontis Aquamvivam, Rustandi berkilah selama proses pembangunan objek wisata jembatan gantung melakukan pengrusakan alam. “Kami tidak pernah melakukan pengrusakan alam seperti yang diprotes beberapa aktivis lingkungan. Baik itu menebang pohon di kawasan TNGGP atau lainnya,” jelasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *