Dedi Mulyadi : Orang Sunda Tidak Pernah Stress, Selesaikan Masalah dengan Dialog

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Dedi Mulyadi saat podcast dengan CEO Radar Bogor Group, Hazairin Sitepu di Lembur Pakuan Sukadaya Subang. Rifaldi/Radar Bogor
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Dedi Mulyadi saat podcast dengan CEO Radar Bogor Group, Hazairin Sitepu di Lembur Pakuan Sukadaya Subang. Rifaldi/Radar Bogor

SUBANG – Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Dedi Mulyadi menyoroti adanya kritik terhadap dirinya soal kejenakaan dalam berbicara.

Dedi Mulyadi yang juga mantan Bupati Purwakarta itu menjelaskan, itu kesalahan fatal metodologi kepemimpinan di tanah Sunda.

Bacaan Lainnya

Menurut Dedi Mulyadi, jadi dirinya pernah bertemu Bossman (Mardigu Wowiek) dan bilang orang Sunda itu kehilangan kejenakaannya. Karena, ciri khas pemimpin Sunda itu Jenaka.

Dedi mengatakan, orang Sunda tidak pernah stress dalam hidupnya sebab dalam menyelesaikan masalah tidak berperang namun mengedepankan dialog.

“Ngobrol kemudian ngadu bako, minum kopi dalam penyelesaian masalah dan kemudian ngobrolnya bebas tidak dibikin bertata karena di Sunda itu tidak ada feodalisme,” tutur Dedi Mulyadi saat podcast dengan CEO Radar Bogor Group, Hazairin Sitepu di Lembur Pakuan Sukadaya Subang, rabu (27/9/2023).

Dedi Mulyadi menjelaskan, di Sunda tidak dikenal kasta kemanusiaan jadi memang hidupnya merdeka.

“Jadi tidak ada stratifikasi strata sosial, jadi kalau muncul Raden-raden di Sunda itu sebenarnya itu bukan nilai-nilai ke Sundaan itu kan pemberian dari Mataram saat menguasai Sunda. Kemudian, mereka memerlukan orang yang mengelola pemerintahan yang menjadi penghubung antara Mataram dengan rakyat,” tutur Dedi Mulyadi yang digadang-gadang akan menjadi calon Gubernur Jawa Barat tersebut.

Ia menyontohkan, ketika menjabat Bupati Purwakarta membuat terobosan baru filosofi baju Sunda yakni celana pangsi ikat yang dilipat dengan cepat dengan memakai baju komprang.

Dedi Mulyadi menjelaskan, orang Sunda selalu terbuka dalam berbicara dan tidak ada dendam dalam hidupnya.

“Sosialis loh orang Sunda itu. jadi kalau mau ngomong sosialis itu ya orang Sunda. Di Sunda itu tidak dikenal kepemilikan hak, tidak ada sebenarnya, ini tanah adalah titipan yang maha tunggal dan tugas manusia itu hanya melakukan pengelolaan tidak ada hak kepemilikan yang dibagi secara bersama,” jelas Dedi Mulyadi.

Ia menyontohkan, sosialis ada di kampung adat yaitu Baduy sebab hidupnya berkelompok berkomunal, tapi harus dipahami bukan atheisme.

“Berkelompok berkumpul maka dia punya kelompok disebut padukuhan ada rumah jumlahnya 40, kemudian punya sistem pengelolaan ekonominya yaitu dia punya lumbung,” jelas Dedi Mulyadi.

Lebih lanjut Dedi Mulyadi mengungkapkan, lumbung atau leuit tersebut untuk tabungan masa depan sehingga Baduy hari ini mendeklarasikan diri kekeringan tidak mengancam orang Baduy karena sudah punya cadangan beras untuk 100 tahun ke depan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *