Romo Leo Joosten, Pelestari Budaya Batak Karo

Dia aktif menulis buku tentang Batak. Buku pertamanya berbahasa Inggris, berjudul Samosir, The Old Batak Society. Buku itu terbit pada 1992. Setahun kemudian, lahir buku berbahasa Indonesia pertamanya yang diberi judul Samosir Selayang Pandang. Buku tersebut menggambarkan budaya Batak, terutama Batak Toba.

Waktu luang Leo sebenarnya tidak banyak. Sebab, dia harus melayani umat. Tapi, dia selalu berusaha meluangkan waktu untuk menulis kamus. Waktu favoritnya adalah malam. ”Saya usahakan untuk mengerjakan sedikit-sedikit,” ujarnya.

Leo juga menulis silsilah-silsilah Batak. Buku tersebut terbit pada 1996. Yang paling anyar adalah Tanah Karo Selayang Pandang yang terbit pada 2014. Leo juga aktif menulis artikel mengenai kebudayaan Batak. Banyak artikelnya yang terbit di media asing, terutama Belanda. Pada 2015 dia meraih penghargaan Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage di Bandung.

Mengapa Leo tertarik melestarikan budaya Batak? Jawabannya ternyata karena cinta. Dia ingin generasi muda tetap mengenal budaya nenek moyangnya. Dia menghargai hasil ciptaan orang-orang terdahulu. ”Rumah Karo yang unik kini hampir tidak ada lagi. Kita perlu menyelamatkan budaya tersebut,” tuturnya.

Sekitar 1970, Leo yang waktu itu berusia 28 tahun lulus dari Universitas Katolik Tilburg, Belanda. Dia belajar teologi di universitas tersebut. Ada empat negara pilihan yang bisa dia kunjungi setelah lulus, yakni Belanda, Tanzania, Cile, dan Indonesia.

”Saya memilih Sumatera (Indonesia) karena paman saya pastor di Medan,” ungkapnya. Sang paman mengajaknya membantu di Ordo Kapusin, tarekat Katolik yang bertugas di Sumatera dan Kalimantan. Dia ditugaskan khusus di Batak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *