Mereka Mencari Orang-Orang Tercinta

Pencarian korban di Perumnas Balaroa terbantu petunjuk keluarga yang ikut mendampingi. Bagi yang menunggui evakuasi di Roa-Roa Hotel, yang terpenting sekarang bagaimana anggota keluarga mereka segera ditemukan. Bagaimanapun kondisinya.

EDI SUSILO-NUR SOIMAH ULFA, Palu

Bacaan Lainnya

TANGIS Wildan Arsida langsung pecah begitu kantong jenazah itu dibuka. ”Iya betul, itu ibu saya,” kata perempuan 21 tahun tersebut sembari terisak.

Rosmida, ibunda Wildan, adalah warga Perumnas Balaroa, Palu Barat. Kampung itu lenyap setelah tanah di bawahnya amblas menyusul gempa pada Jumat lalu (28/9). Kala malaise itu terjadi, terang Wildan, sang ibu yang berusia 56 tahun tersebut ditemani dua keponakan. Sedangkan dia dan suami tinggal di Duyu yang berjarak 5–6 kilometer dari Balaroa. ”Ibu sudah ketemu, tapi saya tak tahu bagaimana nasib para keponakan saya,” katanya.

Di kawasan Balaroa, tanah amblas hingga kedalaman 2–3 meter dari permukaan tanah. Membuat ratusan rumah warga di permukiman padat penduduk itu sudah tidak lagi berbentuk. Perumnas Balaroa adalah perumahan kedua di Palu yang dibangun pemerintah untuk PNS (pegawai negeri sipil). Yang kemudian tumbuh jadi salah satu perumahan terpadat di Kota Palu.

Karena itu, diperkirakan ribuan warga terjebak di dalamnya. Juga, membuat puluhan jalan lenyap seketika. Bukan hanya di Balaroa, kampung yang lenyap karena tanahnya amblas juga terjadi di Kelurahan Petobo, Palu Selatan. Dan, di Desa Jonooge, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi.

Jadilah di hari-hari ini, terutama di Balaroa dan Petobo, seperti terpantau Jawa Pos dan Radar Sulteng, lokasi evakuasi dipenuhi mereka yang mencari orang-orang tercinta yang hilang. Begitu pula di lokasi lain yang jumlah korbannya diperkirakan masif. Misalnya, di Roa-Roa Hotel.

Pada Minggu siang lalu (29/7), misalnya, Hans Bobonggoi menyisir reruntuhan hotel tujuh lantai tersebut. Sembari tak henti meneriakkan, ”Lesni…Lesni…Lesni.” Dan, tangannya berusaha membongkar bongkah demi bongkah batu bata.

Lesni adalah putri Hans yang bekerja sebagai petugas cleaning service di hotel yang telah ambruk tersebut. Dia seakan tidak peduli sengat matahari khatulistiwa yang membakar kulit hitamnya. Membasahi jaket lusuhnya dengan peluh keringat.

Keinginan kuat Hans itu bukan tanpa alasan. Dia yakin betul. Rintihan yang terdengar di balik reruntuhan bangunan tersebut pada Sabtu pagi (29/9) adalah suara sang putri. ”Papa tolong, papa tolong,” tuturnya menirukan suara Lesni.

Saat mendengar rintihan itu, Hans berupaya menggali reruntuhan bangunan dengan tangan sekuat tenaga. Namun, nahas. Usahanya, siang itu belum membuahkan hasil. Lesni belum bisa ditarik keluar dari reruntuhan.

Hans pun, seperti rata-rata mereka yang berkumpul di Roa-Roa Hotel, sudah legawa bagaimanapun nanti kondisi orang-orang tercinta saat ditemukan. ”Yang terpenting, sekarang dia bisa segera ditemukan,” terangnya.

Di Balaroa, keluarga turut mendampingi petugas yang melakukan evakuasi. Karena berupa perumahan, petunjuk tentang lokasi bekas rumah turut membantu. Misalnya, dalam proses ditemukannya Rosmidah.

Selain 20 anggota TNI dan SAR, ada 49 santri yang dipimpin Habib Saleh Al Aydrus alias Habib Rotan Poso yang juga terlibat. Para santri itu dibagi dalam 7 tim, masing-masing berisi 7 orang. ”Mereka menyebar di seluruh area (bekas perumnas),” kata Adi, humas Majelis Dzikir Nuurul Khairat.

Selain Rosmidah, ada delapan jenazah lain yang berhasil dievakuasi pada Minggu lalu dari bekas Perumnas Balaroa. Termasuk dua kakak beradik yang disatukan dalam satu kantong jenazah karena keterbatasan stok. Sebelum dibawa ke truk, jenazah disalati secara berjamaah oleh santri bersama warga yang berada di lokasi evakuasi.

Kalau Hans Bobonggoi mati-matian mencari sang putri, kakak beradik, Noval, 10, dan Dava, 5, tak tahu bagaimana nasib ayah dan bunda mereka. ”Saya sengaja tak membicarakan orang tua mereka dulu,” ujar Mahmud A.R., ketua RT Kelurahan Besusu Barat, Palu Timur.

Menurut Mahmud, berdasar cerita Noval, mereka terpisah setelah tsunami menghantam Pantai Talise, Palu. Saat itu Noval sedang membantu dua orang tuanya berjualan bakso di pinggir Pantai Talise. Sementara itu, sang adik, Dava, mengikuti Agus, 13, kakak tertua bermain di area lebih jauh dari pantai.

Menjelang magrib, guncangan gempa yang disusul gelombang tsunami membuat keluarga itu kocar-kacir. Agus dan Dava berhasil menyelamatkan diri. Sedangkan Noval bersama dua orang tuanya harus tergulung tsunami.

Noval terlepas dari pegangan sang ayah yang terus diterjang ombak. Sementara sang ibu tidak dia ketahui kabarnya. Kemarin mereka mendatangi posko pusat penanggulangan gempa BNPB di halaman Gedung Rumah Jabatan Gubernur Sulteng.

Keduanya tampak lemas. Dengan luka-luka tampak di sekujur tubuh. ”Noval selamat setelah tubuh kecilnya menyangkut di bangunan konter ponsel,” kata Mahmud.

 

(*/uq/c10/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *