Resesi, Pemerintah Harus Jadi Pelaku Ekonomi

PENGINGAT: Potret album yang berisi lagu Resesi. Eros Djarot menciptakan lagu Resesi sebagai alarm atau peringatan kepada pemerintah akan bahaya resesi. Sebab bisa saja menimpa Indonesia saat itu.

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 (minus)–3,49 persen secara year on year (yoy/tahunan) dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Angka minus ini menyusul pertumbuhan yang juga negatif di kuartal II, sebesar (minus) -5,32 persen. Atas dasar pertumbuhan dua kuartal berturut-turut yang negatif itu, Indonesia sah disebut mengalami resesi.

“Dalam situasi perlambatan ekonomi atau resesi seperti sekarang, pemerintah yang harus menjadi pelaku ekonomi,” demikian ditegaskan Anggota DPR-RI Komisi XI Prof. Hendrawan Supratikno, dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Menurut Hendrawan, kondisi perlambatan ekonomi saat ini sebenarnya sudah dirasakan sejak beberapa tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara menyeluruh mengalami penurunan yang ditandai dengan penurunan harga komoditas di pasar internasional dan tidak tercapainya target pertumbuhan pajak. Indikasinya adalah target pertumbuhan ekonomi yang selalu tidak tercapai.

Hendrawan mengatakan pihaknya sudah mendesak pemerintah untuk melakukan beberapa tindakan strategis. Yang pertama adalah, agar pemerintah membuat perencanaan pembangunan yang lebih realistis sejak 2-3 tahun silam.

Kedua, pemerintah harus membuat kebijakan ekonomi uang yang bersifat anti-cyclical/countercyclical dalam bentuk kebijakan fiskal yang lebih agresif di mana pemerintah harus turun tangan menjadi pelaku ekonomi.

“Itu yang lebih penting bagi pemerintah, dan kami sudah wanti-wanti kepada Kepala Bappenas, OJK, Gubernur BI untuk benar-benar menerapkan kebijakan anti siklik,” ujarnya.

Namun dalam perjalanan waktu, ekonomi yang sudah melambat itu ternyata kembali mendapatkan pukulan yang lebih keras ketika terjadi pandemi Covid-19. Kejadian luar biasa ini tidak hanya memberi efek pada satu sisi, supply atau demand saja seperti dalam perlambatan biasa, namun memukul dua sisi sekaligus yaitu supply dan demand.

Senada dengan suara DPR, akademisi juga memberi saran kepada pemerintah untuk mengambil peran lebih besar, guna menjaga agar konsumsi masyarakat tetap terjaga. Bulan-bulan terakhir 2020 ini, menurut Rektor Unika Atmajaya Agustinus Prasetyantoko, kalau ada pos-pos belanja yang tidak maksimal, mestinya dialihkan ke pos yang memiliki kebutuhan lebih tinggi. Misalnya dialihkan ke pos bantuan sosial bilamana bujet di pos ini sudah habis.

“Tindakan seperti ini akan sangat membantu menaikkan permintaan masyarakat menengah ke bawah agar konsumsi mereka tetap terjaga,” ujarnya.

Sebaliknya kepada masyarakat, dia berharap kendati isu utama tetap mengenai masalah kesehatan, namun belanja konsumsi juga harus mulai dilakukan. Untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, tegasnya, mau tak mau hal ini harus distimulasi pemerintah melalui bantuan sosial. Sementara untuk masyarakat menengah ke atas, dia berharap mereka mulai berani belanja di sektor leasure.

Hal ini sudah mulai bisa dilakukan karena menurutnya ekonomi Indonesia mulai menunjukkan pemulihan yang ditunjukkan dari angka kontraksi ekonomi yang mulai mengecil, dibandingkan kuartal kedua kemarin. Sejumlah indikator ekonomi juga sudah memperlihatkan perbaikan seperti belanja pemerintah yang terlihat positif.

Dan di balik kesulitan ini, Prasetyantoko melihat ada momentum bagus bagi pemerintah untuk menjadikan digital ekonomi sebagai backbone perbaikan. Misalnya melakukan penyaluran bantuan social melalui teknologi finansial (fintech).

“Memang sudah ada, tapi belum intensif. Kalau sektor ini dimanfaatkan, akan menjadi fase baru ekonomi kita,” pungkasnya. (agf)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *