Eropa Hadang Lagi CPO RI

Dok.Kaltim Post/JPG MAKRO: Pekerja kebun tengah memanen tandan buah segar (TBS) Kelapa Sawit yang akan diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO).

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Produk minyak sawit (CPO) asal Indonesia kembali mendapat hambatan dagang dari Uni Eropa. Kali ini Uni Eropa melayangkan proposal pengenaan bea masuk 8-18 persen untuk produk biodiesel asal Indonesia.

Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menyatakan, pengenaan bea masuk dengan margin sebesar itu patut ditengarai sebagai strategi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dari Uni Eropa. Tujuannya, mencegah masuknya produk biodiesel dari Indonesia.

Bacaan Lainnya

”Intinya adalah mereka enggak mau minyak nabati yang dihasilkan di Eropa tersaingi produk Asia atau negara tropis,” ujar Pradnyawati, Senin (29/7).

Kemendag menganggap kebijakan itu sengaja dibuat Uni Eropa lantaran CPO olahan Indonesia lebih kompetitif daripada minyak nabati produksi Eropa yang berasal dari kedelai atau biji bunga matahari. ”Kita digempur dari berbagai arah dan dengan berbagai instrumen yang semuanya itu legal menurut WTO (World Trade Organization),” tambahnya.

Rencana pengenaan bea masuk 8-18 persen untuk biodiesel Indonesia mulai berlaku 6 September 2019. Regulasi tersebut baru berlaku secara definitif pada Januari 2020. Sebelum 2019, jumlah ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa tercatat terus meningkat tajam. Berdasar data Kemendag, Indonesia berhasil mengantongi pendapatan USD 116,7 juta pada 2017 dan membesar hingga USD 532,5 juta pada 2018.

Pradnyawati berkesimpulan, proposal bea masuk itu sebenarnya merupakan ancaman kali kesekian yang dilakukan Uni Eropa untuk menghambat akses pasar produk Indonesia. Pada Desember 2018, European Commission (EC) pernah menginisiasi penyelidikan antisubsidi terhadap biodiesel asal Indonesia. ”Indonesia diklaim memberikan suatu bentuk fasilitas subsidi yang melanggar ketentuan WTO kepada eksporter biodiesel, sehingga memengaruhi harga ekspor biodiesel ke Uni Eropa,” bebernya.

Proposal itu membutuhkan tanggapan lebih lanjut dari pihak Indonesia. Saat ini perusahaan biodiesel Indonesia diberi waktu tiga hari untuk menyampaikan tanggapan. Pemerintah juga akan menyampaikan tanggapan setelah dikeluarkannya dokumen preliminary determination secara resmi. ”Proposal itu masih harus diolah, dikembalikan kepada perusahaan kita untuk dikomentari, ditanggapi apakah benar seperti ini,” urainya.

Kemendag mengatakan bahwa penyelidikan belum berakhir dan besaran BMIS itu masih bisa berubah hingga determinasi final pada Januari 2020. ”Sebelum 6 September, pemerintah dan perusahaan masih bisa menanggapi hal tersebut, masih bisa melakukan pembelaan,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengakui bahwa melemahnya pasar ekspor minyak sawit Indonesia sangat dipengaruhi regulasi negara tujuan. ”Beberapa negara tujuan utama memberlakukan regulasi yang sudah masuk kategori hambatan dagang,” ujar Mukti.

Berbicara mengenai penyerapan biodiesel di dalam negeri, pada April terserap 516 ribu ton atau menurun 2 persen jika dibandingkan dengan Maret lalu. Pada Mei, serapan menunjukkan perkembangan positif, yaitu 557 ribu ton atau terkerek 8 persen jika dibandingkan dengan April.

 

(agf/c4/oki)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *