“Semakin tinggi bunga kredit, maka tekanan ke pertumbuhan kredit makin besar. Target pertumbuhan kredit tahun ini diperkirakan hanya 8-9 persen saja, sulit untuk dobel digit,” ucapnya.
Bhima kemudian mencermati, di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, secara langsung akan berdampak ke daya beli masyarakat. Tingkat konsumsi yang lemah, juga berefek kepada pelaku usaha yang mengalami penurunan permintaan.
Di sisi lain, suku bunga kredit yang tinggi juga memicu pelaku usaha enggan melakukan pinjaman atau bahkan melunasi utangnya. Hal ini dikhawatirkan akan mengerek kredit bermasalah (non performing loan/NPL) bank.
Pelaku usaha dengan kondisi permintaan yang melambat, lanjut Bhima, akan sulit melunasi pinjaman yang mahal. Cost of fund atau biaya pinjaman jadi membengkak dan menggerus pendapatan usaha. Otomatis risiko kredit macetnya akan naik.
“NPL per Maret masih 2,75 persen, meskipun menurun tapi ada indikator, agar bank lebih hati-hati salurkan kredit,” ujarnya.
Sementara untuk kredit konsumsi, seperti kredit kendaraan bermotor dan properti pun nasibnya akan sama.
Ada tren masyarakat untuk menahan belanja, lantaran bunga kredit yang mahal. Ia mengibaratkan seperti lingkaran, kalau satu proses bisnisnya melambat, maka akan merembet ke sektor lain mulai dari industri pengolahan, bahan baku dan ritel.