Miris !! Pengungsi Rohingya Kesulitan Lahan Kuburan

Gelombang pengungsi Rohingya yang meninggalkan Myanmar menuju Bangladesh terus berdatangan. Akibatnya, kamp pengungsi selain terlalu padat juga menimbulkan kesulitan penyediaan lahan kuburan bagi yang meninggal. Pemerintah Bangladesh pun membatasi lahan bagi pengungsi.

Pengungsi, Amir Mia (18), membawa jenazah kakeknya melalui kamp ekspansi Bal­ukhali di kota pelabuhan Cox’s Bazar, Bangladesh. Dia mem­bawa jenazah sang kakek untuk dimakamkan di sebuah kuburan yang dibuat setelah datangnya ribuan pengungsi Rohingya yang menyelamatkan diri dari kekerasan tentara Myanmar.

Bacaan Lainnya

Pengungsi Rohingya mening­galkan Myanmar selama be­berapa dekade terakhir, menem­pati kamp-kamp. Penduduk kamp mengubur orang yang meninggal di mana pun mereka bisa mene­mukan lahan. Tanpa adanya lahan yang dikhususkan untuk pemaka­man oleh pemerintah Bangladesh, para pengungsi telah mengatur wilayah mereka sendiri.

“Kakek sudah tua dan meninggal karena penyakit terkait usia,” ujar Amir sambil berjalan menerobos jalan sempit dan berlumpur di kamp itu.

Kuburan kecil di mana Amir sedang mengubur kakeknya su­dah terlihat penuh sesak. Pagar bambu sementara memisahkan antara satu dengan yang lainnya. Di kamp yang terdaftar di Kutupa­long, Mohammad Alam, (16) yang lahir di Bangladesh setelah orang tuanya meninggalkan Myan­mar pada 1990-an, menjelaskan ayahnya adalah pemimpin satu blok kamp dan seorang penggali kubur yang bertanggung jawab untuk menggali kuburan untuk penghuni bloknya.

“Pemakaman telah padat, dengan tiga atau empat mayat ditempatkan di setiap kuburan setelah masuknya pengungsi baru-baru ini,” ujar Mohammad.

“Tidak seperti kehidupan, kematian adalah kebenaran yang tak terelakkan dan di sini tidak ada yang bisa dikubur dengan da­mai karena kita harus menggali kuburan lama untuk menjadikan kuburan baru,” tuturnya.

Dia melihat orang-orang menguburkan mayat di depan rumah mereka. Para pengungsi baru tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilaku­kan. “Saya telah melihat sebuah keluarga mengubur mayat di samping rumah mereka yang baru dibangun. Beberapa hari kemudian, hujan menghapus tanda kuburan dan lebih banyak pengungsi baru datang mem­bangun tenda mereka di atas kuburan itu,” ungkapnya.

Satu Kuburan Digali Lebih Empat Kali

Nur Hossain (52) telah tinggal di kamp yang terdaftar di Kutu­palong selama 26 tahun terakhir. Dia adalah petani di Myanmar, tapi di Bangladesh dia bekerja di sebuah pabrik sup di kamp dan sebagai penggali kubur. Dia datang pada awal 1990-an, ber­sama istri dan tiga anaknya.

“Tentara Myanmar membunuh saudaraku Komol Hossain di awal tahun 90an, mereka mem­bawanya untuk menjadi budak dan dua bulan kemudian kami diberitahu bahwa dia telah meninggal. Kami tidak tahu bagaimana dia meninggal,” kata Nur.

“Mereka (tentara Myanmar) mengatakan bahwa kita bukan warga Myanmar.”

“Saya melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan hidup saya. Kami di sini hidup seperti tahanan, bebas tapi tidak diizinkan untuk bekerja di luar kamp. Bahkan setelah kematian, kami tidak memiliki tempat un­tuk dikuburkan,” katanya.

“Saya menggali satu kuburan lebih dari empat kali untuk di­makamkan. Salah satu kuburan tertua kita sekarang telah men­jadi kebun seseorang.” Nur men­gatakan, kematian membuat dia takut lebih dari apa pun.

“Ketika saya menggali kuburan, saya selalu menyebut nama Allah, seperti (saya tahu) saya akan mati suatu hari nanti. Ketakutan akan kematian ini menghantui saya sepanjang waktu.”

Sementara, Nazu Mia datang ke Bangladesh saat dia masih remaja. Dia sekarang berusia 40-an, dan mengatakan bahwa dia pasrah dengan nasibnya. “Hidup saya dihabiskan di sebuah penjara (kamp pengungsi). Saya akan be­rada di sini sampai kematian saya dan saya tidak tahu kuburan siapa yang akan saya pakai di kehidupan saya selanjutnya setelah kema­tian,” ujarnya.

“Kami mengubur mayat di kuburan tua yang dialokasikan un­tuk pengungsi tahun 80-an, di se­mua kuburan, lebih dari tiga mayat dikuburkan,” dia menjelaskan.

“Kami ditanya apakah kami membutuhkan makanan, tempat tinggal dan bantuan kesehatan tapi tidak ada yang bertanya apakah kami membutuhkan tempat yang lebih besar untuk pemakaman atau jika perlu memperluas lahan yang sudah tua. Bahkan tempat yang telah dialokasikan untuk pengungsi baru sangat kecil. Di masa depan, kita bisa mengubur lebih dari 10 mayat dalam satu kuburan,” tuturnya. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *