Mewujudkan Pelayanan Publik Bebas Korupsi, Hentikan Budaya Fee 10 Persen!

BOGOR – Jelang tutup tahun, pelayanan publik patut menjadi sorotan mengingat masih banyak yang mesti dibenahi agar terbebas dari potensi aksi koruptif.

Permasalahan tersebut menjadi bahasan menarik dalam Dialog Publik Radar Bogor bertajuk ‘Mewujudkan Pelayanan Publik Bebas Korupsi’ di Graha Pena, Kota Bogor, selasa (5/12/17).

Bacaan Lainnya

Dalam sambutannya, CEO Radar Bogor Grup, Hazairin Sitepu mengungkapkan bahwa tindakan koruptif berdampak negatif pada kualitas produk demokrasi di daerah.

‘’Demokrasi ini adalah produknya, Walikota, Bupati, Gubernur, DPRD dan seterusnya. Kalau kemarin banyak bagian dari mereka yang ditangkap, perlu kita pertanyakan seberapa baik produk demokrasi kita,’’ ujarnya.

Perilaku koruptif menurutnya berdampak pada segala aspek. Seperti halnya sektor perekonomian Indonesia yang berbasis pertanian, tapi produk pertaniannya tidak lebih kompetitif dari produk-produk impor. ‘’Kita berharap di Bogor menjadi bagian yang penting, paling tidak mereduksi korupsi ini terjadi,’’ harapnya.

Rektor Universitas Pakuan, Bibin Rubini yang hadir sebagai pembicara menyoroti perilaku koruptif dalam bentuk pelayanan di bidang pendidikan. Ia merasa miris ketika pelayanan pendidikan di Bogor belum merata. ‘’Dosa-dosa kita sangat besar karena tidak memberikan kenyamanan bagi siswa dengan baik,’’ kata Bibin.

Maka itu, ia mewanti-wanti agar kepala daerah sebaiknya tidak memiliki utang budi politik pada siapapun. Hal itu dianggap bisa menjadi benih-benih perilaku koruptif.

‘’Karena kalau sudah terbelenggu koruptif, kita akan selamanya begitu. Kalau sekali bohong akan seterusnya bohong,’’ ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Syamsudin Alimsyah mengatakan bahwa tindakan korupsi di bidang pelayanan publik akan berimplikasi besar pada masyarakat. Seperti halnya pengadaan E-KTP yang dikorup sebanyak 50 persen dari budget yang tersedia.

‘’Lalu apa yang kita alami, hari ini kita kekurangan blanko. Ada warga yang bertahun tahun bahkan tidak mendapatkan E-KTP,’’ katanya.

Padahal, peran E-KTP sebagai kartu identitas diri sangat vital. Segala sesuatunya membutuhkan E-KTP sebagai pelengkap pengurusan administrasi. ‘’Proses untuk mendaftar yang namanya BPJS membutuhkan EKTP. Kemudian mau pilkada, ada berapa warga Bogor yang belum berKTP. Padahal syarat memilih adalah memiliki EKTP,” paparnya.

Di sisi lain, Wali Kota Bogor, Bima Arya memilih cara untuk meminimalisasi korupsi di lingkungan Pemkot Bogor dengan kecanggihan teknologi. Seperti yang kini diterapkan dalam pengurusan perizinan.

‘’Kalau bicara reformasi birokrasi, yang harus dibenahi adalah perizinan. Saat itu saya berikhtiar, melalui teknologi. Karena sebalumnya ada ketidak pastian waktu, ada ketidak pastian biaya. Melalui teknologi semuanya dipastikan,’’ terangnya.

Menurutnya, melalui proses perizinan yang dilakukan secara online, akan menutup kemungkinan suap yang biasa terjadi secara tatap muka. ‘’Melalui perizinan online semua kesempatan itu ditutup semuanya. Perizinan online ini sedang kita benahi, meski belum 100 persen,” kata Bima.

Kepala Inspektorat Kabupaten Bogor, Benny Delyuzar mengaku bahwa Pemerintah Kabupaten Bogor turut melakukan pencegahan korupsi. Pencegahan tersebut dilakukan dengan menggaet KPK. “Dengan cara membentuk kerjasama dengan KPK. Kita dipimpin dengan KPK dalam melaksanakan kinerja,” ujarnya.

Hampir serupa dengan Pemkot Bogor, pihaknya juga tengah memaksimalkan proses perizinan berbasis online. “sudah ada 30 perizinan diberlakukan online dari 50 perizinan yang ada di Kabupaten Bogor. Sudah tidak ada tatap muka. Semua online,” ungkap Benny.

Sementara itu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Widyanto Eko Nugroho mengungkapkan bahwa hingga Oktober 2017, 55 persen kasus yang ditangani KPK adalah kasus penyuapan.

‘’Jumlah kasus berdasarkan profesi, 170 kasus melibatkan pengusaha swasta, 155 kasus melibatkan eselon I-III, 134 kasus melibatkan legislatif, serta 60 kasus melibatkan Kepala Daerah,” ungkapnya. Dia mengakui bahwa untuk melakukan pencegahan tindakan korupsi dilingkungan pemerintahan bukan perkara mudah.

“Sangat sulit sekali mencegah korupsi di pemerintah daerah. Bahkan hasil research kami menyimpulkan bahwa kepala daerah kerap meminta fee 10 persen. Ini harus dihentikan,’’ kata Eko. (Radar Bogor)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *