Jurnalist Journey Solidarity Overland Trip 3, Perjalanan Melawan Hawa Dingin Perbatasan Sukabumi-Bogor (2-habis)

Jurnalist Journey Solidarity
Keindahan alam yang dinikmati sepanjang jalur ekspedisi yang dilalui tim JJS Overland Trip 3 membuat betah.

Nostalgia Masa Lalu Hingga Dibuat Keder Camp Berbau Mistis

Konsentrasi tim yang tergabung dalam Jurnalist Journey Solidarity (JJS) Overland trip 3 hanya terfokus pada satu, camp. Semakin petang, kami dibuat galau karena belum menemukan titik kemah yang pas.

VEGA SUKMA YUDHA, Bogor

Bacaan Lainnya

HUJAN Deras sore itu belum menunjukan tanda-tanda mereda. Selepas pamit dari kediaman warga di Kampung Citalahab, tim yang mengendarai empat kendaraan memilih melanjutkan perjalanan ke kawasan Pasir Banteng. Kami diarahkan menuju tempat tertinggi di Kadusunan Nirmala mengingat terbatasnya areal untuk membuka camp bermalam.

Di perjalanan awal, kami sebetulnya akan mengunjungi Homestay Citalahab yang berada di Kampung Cikaniki. Dari pintu masuk perkebunan teh Sumi Asih, wilayah itu hanya berjarak 300 meteran. Sayangnya, akhir pekan kemarin camp di sana sudah penuh. Ada rombongan club sepeda Bogor yang menghabiskan penat di sana.

Camp itu memang menjadi sejarah masa lalu bagi beberapa crew yang ikut. Kebetulan saya dan CEO Pointtrash (Alekto Group) Rangga Harya Wirabumi pernah menjalani hari-hari melelahkan di sana. Kami yang satu sekolah di SMA dulu masih ingat saat mentor memaksa kami berlari berjam-jam di tengah hutan Pegunungan Halimun non stop. Perjalanan panjang dari Kasepuhan Ciptarasa (sekarang Ciptagelar) Kecamatan Cikakak yang dulu dipimpin Abah Encup (Anom) ditempuh dengan berlari per grup. Tidak boleh jalan karena kami ditakut-takuti kabut siluman.

Konon katanya, jika siang hari terik tiba-tiba muncul halimun atau kabut mendadak, itu pertanda kami harus berhenti dan memilih banyak berdo’a. Jika memaksakan diri, resikonya cukup besar, kesasar. Kami pun percaya saja hingga saat sampai camp Citalahab, sepatu ceko yang saya pakai dipenuhi puluhan lintah hutan alias pacet. Soal letih setelah menguras fisik tidak begitu saya rasakan, tapi luka gigitan pacet yang jumlahnya di kedua kaki, duhhhh gusti. Gatal dan perih.

Dari Citalahab menuju Pasir Banteng sebetulnya tidak jauh-jauh amat. Hanya karena jalannya berbatu dan garicel-garicel, kami tiba di sana selepas magrib. Medannya juga lumayan menarik. Di pinggir kiri hutan di kanan kebun teh. Terus saja ke arah barat dan rute menanjak yang lumayan menguras konsentrasi.

Di separuh perjalanan, tim yang dipimpin sang RC, Rizki Gustana memilih berhenti. Ketinggian Nirmala dari atas terhampar luas. Bukit-bukit kebun teh terlihat berundak-undak. Kabut tipis masih tampak dari hamparan hutan Gunung Halimun. Kalau boleh dibanding-banding, daerah Puncak tidak ada apa-apanya dengan daerah ini. “Sudah seperti surga dunia. Puncak mah lewat deh,” celoteh Hendra, salah seorang manajer Alekto Group yang ikut dalam rombongan.

Meneruskan perjalanan, kami sampai di Kampung Pasir Banteng. Kawasan itu berada di ketinggian 1600an mdpl. Angin gunung setelah hujan reda begitu membuat badan menggigil. Kami memilih melanjutkan membagi mushaf alqur’an sebagai tujuan pembeda JJS overland kali ini. Sebagian tim terlihat mengisi perut lebih awal di warung-warung warga karena belum sempat membuka logistik berat di masing-masing kendaraan.

Sesuai petunjuk, kami memilih menemui Enjay, sesepuh di kampung itu. Dalam overland, koordinasi untuk menentukan titik camp amat penting. Mengingat, rombongan sadar diri karena tidak sedang melakukan perjalanan ke tempat wisata yang di dalamnya ada fasilitas berkemah. Ketersediaan air, sanitasi dan kontur tempat harus wajib menjadi perhitungan matang. Kediaman Enjay berada di ujung jalan yakni titik tertinggi di kampung itu. Berbatasan dengan hutan dan sebuah kawasan pelatihan milik salah satu perusahaan korporasi terbesar di Indonesia.

Setelah lama berdiskusi, tim memutuskan untuk membuka camp malam di komplek diklat perusahaan yang sejak 2017an lalu tak lagi digunakan. Kabut semakin tebal. Dua orang petugas security yang menjadi suruhan Enjay mendampingi kami menentukan titik camp. Perdebatan terjadi manakala kami diarahkan untuk bermalam di pendopo yang menyerupai garasi mobil atau di lahan parkir. Masalah keduanya sama. Akses toilet yang memadai untuk sanitasi. Bayangkan saja kondisinya. Sudah hampir lima tahun lebih jarang dipakai dan tidak begitu terawat.

Tak pantas berdebat panjang di tempat gelap dan sepi. Tim akhirnya sepakat membuka kemah di lahan parkir kawasan seluas kurang lebih 2 hektaran itu. Semua perbekalan dan alat-alat tempur untuk mengeksekusi logistik diturunkan. Wilda Topan sang koki dalam rombongan begitu lihai meracik jantung pisang yang kami temui sepanjang perjalanan menuju kemari. Kontributor MNC itu diam-diam ahli juga soal masak perbekalan lain yang juga kami bawa.

Semakin malam, kabut semakin tebal. Suasana nya hehehe, tak perlu saya buka lebih dalam di sini. Menurut warga setempat, camp pelatihan itu terakhir digunakan lima tahunan lalu. Selebihnya dibiarkan kosong. Dari luar bangunannya tertata rapi. Hanya akses penerangan di dalamnya saja yang terbatas. Di beberapa ruangan malah dibiarkan gelap. Enjay yang diberi fasilitas rumah dinas di atas camp kami sudah lama memilih pindah ke ujung kampung dan membaur bersama warga lainnya. Setiap malam, ada dua security yang ditugaskan untuk menjaga komplek tersebut. “Tapi saya suka tidur di sana saja,” aku Didin, seorang tenaga keamanan sembari menunjuk pos penjagaan.

Fajar pagi baru saja muncul dari balik sisa-sisa kabut semalam. Dari aplikasi tempratur, suhu dingin menembus 10 sampai 12 derajat celcius. Tak ada tim yang tidur dengan jaket polos. Saya amati mereka memakai baju rangkap tiga lebih berbalut sleeping bag. Dari pengalaman berkemah, kami kompak mengakui jika kawasan ini menjadi kawasan terdingin yang pernah kami singgahi. “Untuk (pengalaman) camp overland saya akui di sini sangat dingin,” kata Rizki Gustana, sang RC dalam perjalanan ini.

Insiden mengejutkan dialami koki sekaligus dokumenter perjalanan kami, Wilda Topan. Di pagi itu kami dibuat panik dengan mimisan yang ia alami. Bukan mimisan biasa yang bisa berhenti dengan teh hangat atau tisu berlembar-lembar. Sejak malam sebetulnya kondisinya drop. Hanya, pria berkacama itu memilih diam tak membuka suara. Darah yang tercecer dari hidungnya tak berhenti-berhenti dan cenderung kental.

Saya pun berinisiatif membawanya ke mantri atau tenaga kesehatan. Sayangnya, di kedusunan seluas itu tak ada mantri kesehatan yang menetap. Yang ada hanya bidan desa dan itu pun sedang tidak ada di tempat. Akses kesehatan masyarakat bisa ditempuh ke Puskesmas Cisangku Nanggung. Jaraknya 15 kilometer. Ke Kabupaten Sukabumi pun sama. 20 kilometer dari Nirmala menuju Puskesmas Kabandungan. Itu pun aksesnya hampir sepenuhnya jalan berbatu dan rusak.

Sang pasien akhirnya saya baringkan di rumah warga di Kampung Citalahab. Beruntung ada daun seureuh pemberian warga yang saya gunakan untuk pertolongan pertama di hidungnya. Nostalgia masa lalu pun keluar dari mulutnya. 2010 lalu dirinya pernah semalaman tak bisa pulang karena dibuat linglung di tengah hutan Halimun. Selepas meliput wisata hutan tugas dari kantornya, ia memaksa pulang di waktu magrib.

Kepala resort penelitian Cikaniki sempat melarangnya untuk tidak nekat. “Saya ingin pulang karena redaktur mengharuskan hasil liputan di sini diolah agar besoknya bisa tayang. Di jalan saya tidak ingat apa-apa karena mutar-mutar terus. Padahal satu jam harusnya saya sudah sampai di Kabandungan,” celotehnya.

Ia hanya ingat pertemuannya dengan sosok sepuh pasangan suami istri di sebuah gubuk sawah tadah hujan yang terhampar amat luas. Jam satu malaman ia diberi makan hingga tidur pulas. “Pas saya bangun motor yang sudah saya tinggal di hutan kok ada di depan saya dan dalam kondisi siap pakai. Orangtua itu pun anehnya sudah tidak ada,” akunya.

Berbekal petunjuk jalan dari orangtua misterius yang menjamunya sebelum tidur, ia memilih nge gass motornya hingga sampai pinggiran hutan esok harinya. Semua keluarga, relasi kantor dan aparat keamanan dan semua yang menunggunya dibuat aneh bukan kepalang. Sebab selama ini tidak pernah mendengar dan melihat ada sawah tadah hujan di sekitar hutan Halimun Kabandungan. Di sana justru mayoritas ditanami sayuran dan palawija. Loyalitas pada tugas kadang bisa mengalahkan segalanya dan membuat linglung. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *