JHT Hak Pekerja

Klaim-JHT-Jamsostek

SUKABUMI – Gelombang penolakan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata zara dan persyaratan pembayaran manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menggema di Sukabumi. Semua serikat buruh sepakat menolak keras Permenaker tersebut.

Ketua DPC Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Kabupaten Sukabumi, Usman Abdul Fakih menuturkan, JHT merupakan hak para pekerja yang iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja dan uang pribadi burut.

Bacaan Lainnya

Lalu kemudian, disetorkan per bulannya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Jadi, pemerintah secara langsung menghambat kepentingan pribadi pekerja itu sendiri.

“Pemerintah jangan merugikan pekerja. Uang yang dibayarkan untuk BPJS itu uang yang dibayarkan oleh pemberi kerja dan uang pekerja, bukan uang pemerintah. Jadi jangan sok soan mengatur itu,” tegas Usman.

Menurut Usman, banyak tenaga kerja yang sejauh ini tidak menerima hak nya setelah di PHK oleh perusahaannya lalu melamar kerja sulit.

Sehingga ketika ingin melanjutkan pekerjaannya dengan berwiraswasta, merasa terbantu dengan adanya JHT untuk penambahan modal. “Lalu jika harus menunggu sampai umur 56 tahun, bagaimana caranya para pekerja tersebut ingin memeperbaiki kehidupannya,” tambahnya.

Usman menduga, pemerintah akan mengganggu iuran JHT pekerja karena kekurangan anggaran. Karena secara akumulasi, tentunya iuran JHT tersebut tidaklah sedikit dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan kekurangan anggaran pemerintah.

“Jangan ganggu iuran pekerja. Karena hal tersebut sejauh ini tidak membebankan pemerintah. Jika tidak bisa membuat pekerja sejahtera, minimal jangan membuat susah dengan aturan,” tandasnya.

Terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional (DPC SPN) Sukabumi, Budi Mulyadi mengatakan, dengan adanya aturan baru ini yang sekaligus juga mencabut Permenaker nomor 19 tahun 2015, tentang tata cara manfaat JHT, itu jelas-jelas sangat merugikan pekerja atau buruh.

“Kita bayangkan misal pekerja berhenti pada usia 29 tahun atau 30 tahun, berarti yang bersangkutan baru bisa mencairkan JHT setelah 27 tahun yang akan datang. Ini jelas-jelas merugikan pekerja,” ujar Budi.

Sementara persyaratannya tidak jauh berbeda, baik buruh yang diPHK maupun memundurkan diri. Sebab, tidak otomastis juga buruh mendapatkan bukti paklaring dan sebagainya. Sedangkan persyaratan pencairan JHT itu salah satunya mendapatkan bukti paklaring dari perusahaan dimana buruh itu bekerja.

“Jika 26 atau 27 tahun yang akan datang, kita tidak bisa menjamin perusaan tersebut masih aktif atau tidak. Kita memandang dengan diundangkannya Permenaker no 2 tahun 2022, jelas aturan yang menyengsarakan atau merugikan pekerja,” tegasnya.

Atas dasar itulah, gelombang penolakan terus kian bertambah, hingga adanya petisi penolakan Permenaker tersebut. Menurutnya di BPJS Ketenagakerjaan itu terdapat uang pekerja yang nominalnya bisa mencapai ratusan triliun rupiah.

“Kita bayangkan di dalam BPJS saat ini ada Rp550 Triliun. Itu adalah uang pekerja kita. Aneh uang itu uang pekerja, tetapi dengan seenaknya tanpa memberikan ruang atau kesempatan kepada pekerja mengeluarkan aturan itu. Jika belum dilakukan pencabuan, kita akan lakukan aksi unjuk rasa,” ancamnya.

Sementara itu, Ketua DPC F-Hukatan KSBSI Kabupaten Sukabumi, Nendar Supriatna menambahkan, kebijakan Menaker ini ia nilai sangat kurang pas dan tidak tepat, apalagi di masa-masa pandemi yang belum tahu kapan akan berakhirnya.

“Kita semua tahu, bahwa salah satu dampak pandemi beberapa waktu yang lalu bagi buruh adalah pemutusan hubungan kerja atau PHK. Kaitan JHT memang secara ruh, jelas tabungan bagi buruh untuk masa tua, akan tetapi jika kita berbicara sebuah kebijakan maka harus dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah kemanusiaan. Hakim saja memutus suatu perkara bukan hanya dilihat dari sisi hukumnya saja,” tegasnya.

Menurutnya pemerintah juga pasti punya data bahwa mayoritas hubungan kerja buruh adalah kontrak/PKWT, dan mayoritas jika buruh sudah di atas 38 itu sudah sulit mendapatkan kembali lapangan pekerjaan. Maka untuk menyambung hidup jelas salah satu harapannya adalah JHT itu.

“Saya harap pemerintah juga harus terbuka dalam mendengar aspirasi para buruh yang juga adalah pemilik uang yang dikelola tersebut. Kan uang itu adalah hak para buruh. Jika tidak memperhatikan pandangan para buruh ya jangan sampai malah menimbulkan pandangan, bahwa pemerintah memang sedang membutuhkan dana untuk insfratruktur apalagi ramainya malah berkaitan dengan IKN,” ungkapnya.

“Bayangkan saja jika para buruh pada akhirnya menolak untuk masuk dalam peserta program JHT Ini. dan hanya ikut pada program lain seperti Jaminan kematian (JKM) dan jaminan kecelakaan kerja (JKK) saja,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *