Bawang Putih Mahal, Pedagang Cemas

ILUSTRASI: Bawang putih. (net)

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Para pedagang mulai merasa cemas dengan kondisi harga jual bawang putih. Setiap terjadi kenaikan harga, mereka merasa menjadi pihak tertuduh. Mereka mengklaim telah berusaha tidak menaikkan harga bawang putih dengan mengambil margin keuntungan yang sangat tipis.

Ketua Forum Komunikasi Pengusaha dan Pedagang Pangan Indonesia Umar Anshori mengklaim distributor tidak bisa menaikkan harga bawang putih begitu saja. Kenaikan harga bawang putih setiap awal tahun lebih dipicu oleh harga beli dari importir terus mengalami kenaikan. Hal itu membuat para pedagang ikut menjual ke konsumen akhir dengan harga lebih tinggi dari sebelumnya.

Menurut Umar Anshori, selama ini pedagang selalu menjadi tertuduh dan kambing hitam ketika harga bawang putih naik. Tidak hanya itu, pedagang kerap menjadi sasaran razia satgas pangan. Padahal ketika barang tidak ada, pedagang rela antre dari subuh untuk mendapatkan bawang putih.

“Itupun jumlahnya dibatasi hanya satu sampai dua sak per orang. Itu seperti kejadian tahun lalu,” jelas Umar di Jakarta, Rabu (9/2).

Kerisauan serupa juga diakui Wandi, salah seorang pedagang bawang putih di Mojosari. Dia menyangkal kenaikan harga bawang putih dilakukan oleh pedagang semata. “Kalau dibilang kami menaikkan harga bawang putih adalah salah besar,” tegasnya.

Wandi bercerita, pada Senin lalu dirinya membeli bawang putih dari importir seharga Rp18.250 per kilogram. Padahal distributor masih jual eceran di harga yang sama. Akhirnya, distributor mau tidak mau harus menjual di atas Rp18.250 per kilogram supaya ada keuntungan. Minimal harus menjual Rp18.500. Margin Rp 250 per kg itu untuk menutupi ongkos pengiriman, biaya penyusutan, dan keuntungn bersih.

“Paling kami hanya ambil keuntungan Rp100 per kilogram.”

Dia menilai kenaikan harga bawang dipicu regulasi di tingkat regulator. Akibatnya impor jadi terlambat. “Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Tiongkok dan importir untuk memainkan harga,” jelas Wandi.

Di pihak lain, Ketua Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Valentino menyebut bahwa stok bawang putih masih aman sampai Maret. Volumenya diperkirakan mencapai 175.000 ton.

Menurut Valentino, terjadinya kenaikan harga bawang putih yang berulang setiap Februari adalah fenomena yang biasa. Untuk menghindari kenaikan itu, pihaknya mengusulkan adanya transparansi dalam hal penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Surat Persetujuan Impor (SPI).

“Semakin cepat dikeluarkannya RIPH dan SPI bagi Pusbarindo semakin senang,” ujarnya.

Dia mengklaim, kalau penerbitan RIPH dan SPI juga sudah transparan, maka harga dapat dikendalikan. Jikapun tetap terjadi kenaikan harga, dia menunding pasti dilakukan oleh pihak distributor atau pedagang.

“Kalau sampai Maret, SPI belum keluar biasanya mereka itu menaikkan harga. Kalau SPI cepat keluar, tidak ada putar jalur bagi distributor dan pedagang untuk menaikkan harga,” katanya.

Sementara itu, Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto sudah mengendus potensi kenaikan harga bawang putih pada Maret, April, dan Mei mendatang. Pasalnya, selama lima tahun terakhir konsisten terjadi kenaikan harga di setiap tiga bulan tersebut.

“Selama ini kenaikan bawang putih di pasar terjadi karena keran impor selalu telat dibuka. Padahal konsumsi per tahunnya bisa diprediksi,” ujarnya.

KPPU, kata Taufik, merekomendasikan Kemendag dan Kementan untuk mempermudah perizinan impor bawang putih di dalam negeri. Selama ini kebutuhan bawang putih memang dipasok dari impor karena kebutuhan belum bisa dicukupi oleh petani dalam negeri. (jpg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *