Awass, Difteri Mudah Menyebar Lewat Cara ini

JAUH sebelum menjadi obrolan hangat, difteri jadi perhatian Prof Dr dr Ismoedijanto SpA(K) pada 2004. Saat itu dia menemukan tiga kasus di Tanah Merah, Bangkalan. ’’Tim dokter kami menemukan kasus polio akibat cakupan vaksin rendah atau VDPV. Yang menarik, pola tersebut juga muncul pada difteri dan terjadi di tempat yang sama,’’ ungkap spesialis anak RSUD dr Soetomo itu.

Tiga belas tahun berlalu setelah penemuan tersebut, saat ini ternyata jumlah penderitanya makin tinggi. Outbreak itu tidak hanya ditemukan di Tanah Merah, malah meluas menjadi 95 kota dan kabupaten di 20 provinsi Indonesia. Angka kejadian mencapai ratusan kasus dengan 38 kematian. Padahal, menurut Ismoe, kasus tersebut bisa dicegah sehingga jumlah penderitanya menurun, bahkan akhirnya mencapai nol kasus. ’’Vaksinnya ditemukan pada 1920-an. Di Amerika Serikat dan negara maju lainnya, difteri sudah musnah karena sistem vaksinasinya baik,’’ tegasnya.

Bacaan Lainnya

Dokter kelahiran Surabaya, 11 November 1942, itu menjelaskan, tingginya kasus dipicu banyaknya warga yang menolak divaksinasi. ’’Banyak juga yang salah paham, mengira vaksin difteri diberikan cukup saat bayi saja,’’ imbuh Ismoe. Lantaran penolakan maupun kurang lengkapnya imunisasi, sistem kekebalan tubuh tidak baik. Bakteri pencetus difteri Corynebacterium diphtheriae pun mudah menjangkiti.

’’Bakteri tersebut sangat mudah menyebar lewat droplet atau liur dalam radius 3 meter,’’ kata dr Dominicus Husada SpA(K). Pada orang yang mendapatkan vaksinasi difteri lengkap, gejala infeksi lebih ringan dan lekas reda. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap bakteri difteri.

Dominicus menyatakan, infeksi difteri ditandai dengan gejala khas. Yakni, muncul bercak putih keabuan tebal di tenggorokan, pertanda bahwa bakteri telah merusak membran di area itu. “Pada kasus tertentu, difteri juga ditemui di kulit. Sifatnya melukai jaringan, bukan membentuk lapisan. Jadi, kalau dilepas, berdarah,’’ paparnya.

Dia menyatakan, kasus tersebut harus segera mendapatkan penanganan dokter. Alumnus Universitas Airlangga itu menjelaskan, infeksi tersebut bisa bersifat lokal maupun menyebar. Pada kasus infeksi lokal, bercak putih keabuan itu menyebar di area tenggorokan dan mengakibatkan penderitanya sesak napas. ’’Penanganannya, pasien harus bernapas dengan lubang yang dibuat di tenggorokan,’’ kata Dominicus. Yang mengkhawatirkan, jika bakteri tersebut melepaskan toksin.

’’Racunnya ini menyebar ke jantung, ginjal, dan sistem saraf. Kalau mengenai jantung, 70 persen dipastikan meninggal,’’ tegasnya. Persebaran racunnya terbilang cepat, berkisar kurang dari dua minggu dari infeksi. Penanganan difteri, menurut Dominicus, terbilang kompleks. Dia menjelaskan, ketika pasien dinyatakan positif difteri, mereka wajib menjalani isolasi. ’’Tujuannya, menutup persebaran. Makanya, setelah ditemukan bercak, segera hubungi tim medis,’’ papar spesialis anak RSUD dr Soetomo itu.

Dia menjelaskan, pada banyak kasus, sering kali seorang anak terjangkit difteri akibat bakteri yang dibawa teman sekelas, bahkan orang tua sendiri. Selain anak-anak, kalangan lansia rentan tertular. ’’Pada anak, imunitas atau kekebalan belum terbentuk. Sementara itu, pada dewasa di atas 50 tahun, kekebalan mulai turun hingga separonya,’’ ungkap Dominicus.

Karena itu, pemerintah menetapkan kondisi tersebut sebagai KLB. Hingga kemudian, diputuskan untuk memfokuskan outbreak response immunization (ORI) alias pemberian imunisasi setelah outbreak kepada anak-anak dan remaja di bawah 19 tahun. ’’Mereka mendapatkan imunisasi difteri dengan harapan tidak tertular sehingga penyebaran bisa dihentikan,’’ terangnya.

Pemberian imunisasi pada lansia belum dinilai jadi prioritas utama. ’’Stoknya tidak mencukupi kalau mengejar lansia dan anak-anak,’’ imbuh Dominicus. Desember ini, pemberian diprioritaskan di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Tiga wilayah tersebut padat penduduk dan angka kejadiannya terbilang tinggi. ’’Mulai Januari 2018, imunisasi dilaksanakan ke provinsi lainnya yang berstatus KLB. Diharapkan, imunisasi tidak hanya dilakukan karena outbreak. Itu kan tergolong imunisasi wajib, jadi ya semestinya memang diikuti,’’ tegas Dominicus. (fam/c22/ayi/ce1)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *