Pospeda 2024: Mempertautkan Pengetahuan dan Kaweruh

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Kota Sukabumi menjadi tuan rumah Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren Daerah (Pospeda) Tingkat Jawa Barat Tahun 2024 dari tanggal 20-22 Agustus. Perhelatan tingkat provinsi semacam ini berdampak baik terhadap daerah yang menjadi tuan rumah, salah satunya diuntungkan oleh peningkatan perekonomian di beberapa sektor seperti perhotelan, UMKM, dan cenderamata.

Bacaan Lainnya

Selain keuntungan di bidang perekonomian, Kota Sukabumi dikunjungi oleh delegasi dari 27 kota dan kabupaten se-Jawa Barat. Secara tidak langsung, para delegasi ini akan membahasakan kembali kesan mereka selama di Kota Sukabumi. Dengan pembahasaan ini, Kota Sukabumi memiliki agen laten promosi kota ke daerah lain.

Dua keuntungan tersebut diungkapkan langsung oleh Penjabat Wali Kota Sukabumi, Kusmana Hartadji, saat menyampaikan sambutan pada acara pembukaan Pospeda. Salah satu keuntungan di sektor perekonomian adalah padatnya hotel-hotel oleh pengunjung, dengan jumlah pemasukan ke beberapa hotel ditaksir sebesar Rp540 juta dalam tiga hari.

Keuntungan lain dari penyelenggaraan Pospeda 2024 adalah meningkatnya peran pondok pesantren dalam menghasilkan santri yang siap berkompetisi di bidang olahraga dan seni. Jika sebelumnya pondok pesantren, seperti dalam penelitian Hiroyoshi, dianggap sebagai lembaga yang terpisah dan memiliki pranata sendiri dari masyarakat, saat ini pesantren telah melebur dan membangun komunikasi dengan dunia luar.

Peralihan cara pandang ini menjadi babak baru bagi dunia pesantren. Para santri tidak sekadar dituntut mempelajari ilmu agama dari kitab kuning klasik, tetapi juga dituntut menguasai bidang lain seperti olahraga dan seni. Tak dapat dimungkiri, sejak dulu pesantren telah memadukan antara salat dengan silat. Perkembangan zaman telah membawa pesantren untuk mengakses cabang-cabang olahraga lainnya seperti atletik dan senam.

Pesantren modern dan salafiyah (tradisional) kini telah membuka diri terhadap dunia luar yang sebelumnya dipandang dapat mendekatkan santri pada nilai profan duniawi dan menjauhkan mereka dari nilai imanen ukhrawi. Sikap cair dan melebur lembaga pesantren dengan dunia luar ini sejalan dengan nilai universalitas Islam.

Di masa lalu, kita mungkin sering mendengar orangtua menuturkan pandangan dikotomis antara ikhtiar hidup di dunia dengan kehidupan setelahnya. Pemisahan ini terjadi dalam jenis ilmu yang dipelajari, antara ilmu dunia dengan ilmu agama. Imbasnya, hal ini mengendap pada banyak lembaga pendidikan keagamaan di masa lalu yang hanya memfokuskan santri dan siswa untuk mempelajari ilmu agama dengan mengkaji kitab-kitab klasik bergenre matan atau rangkuman dasarnya saja.

Hal tersebut menjadi penyekat yang tak kasat mata, dan ini diejawantahkan dalam kehidupan, bahwa ada perbedaan nilai antara mempelajari ilmu agama di pengajian, pondok pesantren, dan madrasah diniyah dengan ilmu dunia di sekolah-sekolah umum. Di masa lalu, nilai mempelajari ilmu agama tentu dianggap lebih tinggi daripada mempelajari ilmu bumi dan ilmu alam. Pandangan klise seperti ini berlangsung sampai akhir tahun 90-an dan mungkin masih terjadi di masyarakat yang memegang nilai-nilai tradisi.

Jika ditelusuri, pandangan dikotomis yang memisahkan masalah keduniawian dengan ukhrawi merupakan domain dari sekularisasi kehidupan di Eropa abad pencerahan, yang kemudian pandangan ini didistribusikan oleh negara-negara Eropa ke wilayah lain. Indonesia, misalnya, mendapatkan informasi pemisahan atau sekularisasi kehidupan dunia dengan akhirat ini dari Belanda.

Lantas, mengapa pandangan sekular ini diadopsi juga oleh kita saat itu? Sekularisasi atau pemisahan antara kehidupan dunia dengan akhirat hingga entitas-entitas terkecilnya sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat Nusantara Kuno sebelumnya. Pranata pendidikan masa itu benar-benar memadukan antara pengetahuan dengan kaweruh. Selain dibekali dengan sastra, para siswa padepokan juga diisi dengan kanuragan, bagaimana mereka melatih diri mengendalikan emosi dan pikiran. Bagaimana mereka dapat memadukan antara akal, budi, dan kekuatan fisik.

Sekularisasi abad pencerahan menitikberatkan pada pemisahan antara hal-hal imanen dengan profan, dilatarbelakangi oleh sejarah ketika dua pandangan bersatu dan tidak menempati lembaga yang tepat justru menjadi senjata mematikan bagi kaum cendekiawan. Kenyataan seperti ini sebenarnya tidak mesti terjadi jika masing-masing pihak memahami duniawi dan ukhrawi secara mendalam.

Ketika pemisahan antara dua entitas yang saling melengkapi ini berada pada dua polarisasi, telah menimbulkan kecurigaan. Kaum agamawan memandang ilmu-ilmu alam yang dikembangkan oleh para saintis sebagai ilmu sihir hitam yang dapat menjauhkan manusia dari cahaya ilahi. Di sisi lain, para saintis memandang agama dengan seperangkat aturannya sebagai fantasi yang tidak sejalan dengan hukum positif. Padahal, ilmu pengetahuan sendiri tidak memiliki peran dalam menilai apa yang ada di luar dirinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *