Tangisan Beras, Daging dan Garam Lokal

MANUSIA yang bodoh berpotensi menimbulkan masalah, mulai dijadikan lelucon oleh orang-orang pintar yang membuat kalimat dan fatwa, hingga dijadikan alat untuk menyerang dan memfitnah orang dengan serampangan. Novelis Prancis Gustave Flaubert merumuskannya kebodohan adalah sesuatu yang tidak tergoyahkan, kita akan remuk sendiri jika menghajarnya, ia seperti granit, keras, dan alot.

Bahkan kata penimpin spiritual bangsa Iran Ayatollah Khomeini, pernah berkata bahwa orang-orang bodoh adalah rombongan pertama yang akan masuk neraka karena beberapa alasan. Pertama, orang bodoh bisa menyakiti orang lain tanpa menyadari efek dari perbuatannya. Kedua, ketika berbuat salah, ia tidak tahu di mana kesalahannya dan tidak mampu memperbaiki diri sendiri karena kebodohannya. Ketiga, jika diberi saran yang baik, ia membantah. Keempat, ia mudah dikendalikan orang lain untuk membuat kerusakan.

Bacaan Lainnya

Melihat perkataan itu, saya teringat oleh wejangan kuno yang diberikan nenek saya dulu, meski terlihat ortodoks faktanya apa yang disampaikannya bisa benar adanya untuk hari ini. Hanya saja waktu itu saya belum faham dan bahkan bodoh menanggapi perkataannya. Perkataan nasi bisa menangis contohnya, ketika makan dirumahnya selalu saja beliau menyampaikan pesan jika makan nasi jangan disisakan. Saya berfikir kalimat tersebut terlalu aneh.

Namun, ketika saya dalami saat ini perkataan itu ada benarnya. Ya kalau dipikir secara nalar tidak mungkin nasi bisa menangis, namun jika dilihat dari bahasa yang terkandung didalamnya, mungkin nasi bisa menangis adalah kalimat yang perlu diartikan lebih jauh. Mungkin maksudnya mengajarkan untuk membereskan pekerjaan yang sudah dimulai hingga tuntas, atau menghargai proses nasi, mulai dari ditanam, dipanen dan ditumbuk hingga dihidangkan memerlukan keringat dan proses panjang para petani.

Kebodohan itulah yang membuat saya tidak merasakan salah jika setiap makan menyisakan nasi. Lucunya saya tidak tau perbuatan yang saya lakukan bisa menyakiti hati nenek saya ketika makanan yang saya ambil tidak dihabiskan. Dan memang saya tidak tau kesalahan apa yang saya lakukan ketika perut sudah kenyang, sebagian nasi terbuang ke tempat sampah. Padahal saran-sarannya sudah jelas setiap harinya agar tidak boleh menyisakan nasi saat makan. Ambil secukupnnya, jika dirasa kurang tinggal ambil lagi bukan seperti orang kesurupan.

Hal-hal seperti itu bisa dirasa sudah hilang dalam kehidupan keluarga saat ini, tiap harinya berapa banyak sisa-sisa nasi dan makanan lainnya yang terbuang sia-sia, padahal kalau melihat dari kondisi saat ini harga-harga bahan pokok sehari-hari terus melambung. Mulai dari harga beras yang terus naik, membuat sejumlah masyarakat menengah kebawah menjerit. Lucunya jeritan itu hanya sebagian drama yang dimainkan oleh penguasa.

Alam yang luas dan subur makmur dalam lagu Koes plus bisa dikatakan ngawur jika kita masih tergantung impor. Ya satu pertayaan, Ada apa dengan Negara ini?
Setelah mengimpor beras waktu lalu, saat ini pemerintah secara beruntun memutuskan mengimpor daging dan garam. Alasannya klasik. Stok dua komoditas itu tak cukup memenuhi kebutuhan nasional. Tentu saja akibat keputusan itu, masyarakat meragukan pemerintah yang waktu dulu menyatakan swasembada pangan adalah lelucon yang baru saja dimulai.


Revolusi mental gagal tercipta jika dikit-dikit kok impor. Kejanggalan polemik naiknya harga beras dan rencana Impor memang terasa, ketika harga beras dipasaran masih Rp9 ribu, pemerintah sudah mengatur rencana impor sebanyak 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam untuk menambah stok beras yang kian menyusut, setelah ramai masyarakat menjerit beras sudah ada di perbatasan Negri dan bahkan didalam. PadahalĀ  Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo sudah menawarkan stok berasnya untuk mengatasi masalah ini, namun apadaya pemerintah sudah memesan beras impor tersebut.

Tergesa-gesa ya memang itu yang pantas dilayangkan ucapan kepada pemerintah, disaat petani memasuki masa panen kok masih saja impor beras. Dan yang tadinya masyarakat pengkonsumsi beras menjerit sekarang petani yang was-was dengan harga gabah yang rendah.

Melihat kondisi itu serasa ada yang mengatur secara baik. Kritikan-kritikan masyarakat rupanya tidak membuat pemerintah jera untuk tidak impor kembali, tak sampai seminggu setelah gaduh soal impor beras, pemerintah serasa tak peduli cacian masyarakat dengan akan melakukan impor Daging dan Garam. Membuktikan bahwa pemerintah tidak tau kesalahan yang diperbuatnya. Atau mungkin tidak menyadari bahwa garis pantai negara ini berpotensi menciptakan garam yang bekualitas, kesuburan tanah ini mampu menghasilkan daging kerbau yang baik jika difasilitasi pemerintah.

Pidato, foto-foto dan celotehan di media untuk mampu swasembada pangan membuat hiburan terasa aneh. Jika impor secara beruntun masih dilakukan. Siapa yang bodoh dan dibodohi kita tidak tau percis dalam keadaan saat ini, yang pasti masyarakat saat ini masih menjadikan beras, garam dan daging untuk komsumsi sehari-hari, meski sebagiannya terbuang ke tempat sampah.

Prilaku serakah, dan rakus bisa jadi semakin tingginnya kebutuhan pangan saat ini, jika kita kembali kepada local wisdom (kearifan lokal) tata cara berkehidupan manusia dulu seperti di kasepuhan cisungsang contohnya, yang mengklaim bahwa stok pangannya melimpah hingga cukup untuk beberapa tahun kedepan. Padahal masa tanamnya dalam setahun dua kali sekali, itu bisa dijadikan bahan kajian pemerintah, bagaimana caranya stok pangan agar tetap stabil tanpa impor ke negara lain.

Pada akhirnya, apa yang dikatakan orang yang lebih dulu hidup dimuka bumi ada benarnya, tinggal bagaimana kita sebagai manusia yang hidup dizaman ini memahaminya, toh sejarah merupakan perulangan kembali dengan nampak yang berbeda-beda. Alam dan mataharinya tetap sama, yang membedakan manusia yang menempatinya. Pada akhirnya dunia akan rusak oleh manusia, sekarang tinggal bagaimana manusia menunda kerusakan itu. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *